Bisnis,com, JAKARTA - Kebijakan moneter yang longgar oleh Bank Indonesia (BI) dinilai masih tetap diperlukan saat ini untuk mendorong pemulihan ekonomi yang lebih kuat.
Sebagaimana diketahui, belakangan muncul kekhawatiran bahwa ekonomi di Amerika Serikat (AS) akan pulih lebih cepat dari perkiraan, sehingga Bank Sentral AS, The Fed, akan mulai melakukan normalisasi kebijakan moneter dan mengurangi pembelian obligasi (tapering off).
Kepala Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana menilai, dengan kondisi saat ini, di mana aktivitas ekonomi dan kondisi restrukturisasi mengalami perbaikan, serta likuiditas di pasar yang besar, pengetatan kebijakan moneter masih belum perlu dilakukan di Indonesia.
Di samping itu, beberapa faktor lainnya yang mendukung, yaitu tingkat inflasi yang saat ini masih rendah, nilai tukar rupiah terjaga stabil, dan sistem keuangan yang terkonsolidasi.
Namun demikian, menurutnya, wacana penarikan stimulus yang lebih cepat di negara maju juga perlu direspon cepat oleh otoritas agar tidak memberikan tekanan pada pasar keuangan domestik maupun pada proses pemulihan ekonomi.
“Persiapan normalisasi kebijakan moneter dapat mulai dilakukan dalam internal otoritas agar dapat merespon ketika pemulihan global dan domestik memberikan tekanan pada kondisi di atas,” katanya kepada Bisnis, Selasa (15/6/2021).
Baca Juga
Menurutnya, hal ini perlu dipertimbangkan, terlebih di tengah kondisi inflasi global yang mengalami peningkatan, serta arah kebijakan moneter di sejumlah negara berkembang pun mulai memberikan sinyal pengetatan.
Wisnu memperkirakan BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5 persen pada Rapat Dewan Gubernur yang diadakan pada Selasa dan Rabu, 15 dan 16 Juni 2021.