Bisnis.com, JAKARTA — Pandemi Covid-19 dinilai memberikan efek psikologis cukup kuat terhadap keputusan pensiun para pekerja, terutama yang berpenghasilan tinggi. Tekanan saat ini dinilai wajar membuat orang-orang menginginkan pensiun dini, tetapi akan tetap bergantung kepada kebijakan perusahaan terkait.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan DPLK Syarifudin Yunus, merespons hasil studi Investor Global Schroders 2021 terkait perilaku investasi pasca pandemi. Riset yang dilakukan pada 16 Maret–7 Mei 2021 itu menunjukkan bahwa 79 persen orang yang belum pensiun ingin menyisihkan lebih banyak dana untuk masa pensiun mereka akibat pandemi Covid-19.
Menurut Syarif, adanya pembatasan mobilitas selama pandemi membuat gaya hidup masyarakat menjadi terbatas. Dana yang digunakan untuk pemenuhan gaya hidup pun dapat dialokasikan untuk keperluan pensiun.
"Hal ini tentu menjadi fenomena yang menarik karena kesadaran untuk merencanakan masa pensiun menjadi lebih meningkat," ujar Syarif kepada Bisnis, Senin (2/8/2021) malam.
Hal tersebut sejalan dengan hasil riset Schroder, yakni masyarakat Indonesia dapat meningkatkan alokasi dana pensiun karena berkurangnya pengeluaran untuk hal-hal yang tidak esensial, seperti hiburan, makanan, dan pengiriman. Sayangnya, tidak tercapainya target tabungan pensiun juga salah satunya disebabkan oleh hal yang sama, yakni peningkatan pengeluaran untuk hal-hal tidak esensial.
Selain itu, hasil riset Schroders pun menunjukkan bahwa 73 persen responden di Indonesia menyatakan bahwa pagebluk akibat penyebaran virus corona ini membuat mereka ingin pensiun lebih cepat, yakni 37 persen orang Indonesia menjadi berpikir untuk pensiun lebih awal dari waktu yang direncanakan semula, kemudian 36 persen berpikir akan pensiun setelah pandemi Covid-19 selesai.
Terkait hal tersebut, Syarif menilai bahwa keinginan untuk pensiun lebih cepat merupakan dampak psikologis dari pandemi Covid-19 yang memberikan tekanan besar. Hal tersebut memungkinkan dilakukan jika memenuhi ketentuan perusahaan, dengan risiko kesiapan dana pensiun menjadi kurang dari perencanaan awal.
Responden riset itu adalah mereka yang akan menginvestasikan paling sedikit 10.000 euro atau sekitar Rp170 juta (asumsi 1 euro = Rp17.000) dalam 12 bulan ke depan dan telah membuat perubahan terhadap investasi mereka dalam 10 tahun terakhir. Menurut Yunus, responden itu merepresentasikan peserta DPLK dari kelas ekonomi atas.
"Lebih tepatnya keputusan pensiun tetap mengacu ke peraturan perusahaan dan riset tersebut lebih ke persepsi pekerja kalangan atas, belum mewakili pekerja pada umumnya. Karena [peserta] di DPLK, manfaat pensiun pekerja 95 persen di bawah 500 juta," ujarnya.
Dia menilai bahwa keputusan untuk pensiun lebih cepat dapat berisiko jika ketersediaan dana untuk membiayai masa pensiun belum mencukupi. Namun, jika pekerja sudah merencanakan sejak awal untuk berhenti bekerja saat memasuki usia pensiun dipercepat (UPD) maka perlu persiapan lebih matang.
Ketentuan pensiun dini diatur dalam peraturan masing-masing perusahaan, dengan manfaat yang mengacu pada Undang-Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) 35/2021 tentang Pemutusan Hubungak Kerja (PHK). Bila terjadi kekurangan dana dari DPLK atas total manfaat, maka sisa kekurangan menjadi tanggung jawab pemberi kerja.
"Mencermati riset itu, sebisa mungkin pemberi kerja mulai menyiapkan program pensiun untuk pekerja sebagai upaya meminimalkan beban biaya dan cash flow pemberi kerja, bila harus membayarkan manfaat pensiun sewaktu-waktu ke pekerja," ujarnya.