Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Menilai Aturan RPIM Perbankan Tak Tepat Dilakukan oleh BI

Aturan tersebut melampaui kewenangan BI sebagai bank sentral. Pasalnya, mengatur individu perbankan merupakan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam (dari kiri) menyampaikan paparan saat berkunjung ke kantor Bisnis Indonesia, di Jakarta, Rabu (10/1)./JIBI-Felix Jody Kinarwan
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam (dari kiri) menyampaikan paparan saat berkunjung ke kantor Bisnis Indonesia, di Jakarta, Rabu (10/1)./JIBI-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mewajibkan perbankan untuk memenuhi Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) untuk meningkatkan inklusi ekonomi dan akses keuangan bagi UMKM.

Perbankan diharuskan memenuhi RPIM secara bertahap, yaitu 20 persen pada 2022, 25 persen pada 2023, hingga 30 persen pada 2024.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 23/13/PBI/2021 tentang RPIM bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah, berlaku efektif sejak 31 Agustus 2021.

Direktur Riset CORE Piter Abdullah menilai aturan tersebut melampaui kewenangan BI sebagai bank sentral. Pasalnya, mengatur individu perbankan merupakan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Saya tidak sependapat dengan kebijakan BI yang ini (PBI 23/2021). Itu menurut saya di luar kewenangannya BI,” katanya, yang dikutip Bisnis melalui keterangan resmi, Selasa (7/9/2021).

Piter menjelaskan, kewenangan BI seharusnya untuk pengaturan secara makro, yakni mencakup kebijakan moneter hingga sistem pembayaran. Sementara, pengaturan dan pengawasan perbankan sudah beralih ke OJK sejak 31 Desember 2013.

“Rasanya terlalu jauh BI mengatur, bahkan dengan mengancam memberikan sanksi kepada bank. Menurut saya itu di luar kewenangan BI, domain BI lebih ke pengaturan makro, tidak pada tataran mikro mengatur bagaimana bank beroperasi,” jelasnya.

Menurutnya, BI seharusnya mendorong penyaluran pembiayaan bank melalui instrumen moneter yang dimiliki, misalnya seperti suku bunga acuan.

“Jika kemudian instrumen suku bunga tidak efektif, BI harusnya fokus mencari apa penyebab instrumen suku bunga tidak bisa meningkatkan penyaluran kredit. Bukan kemudian masuk ke wilayah kewenangan otoritas lain,” tuturnya.

Sebelumnya, Kepala Departemen Kebijakan Makropudensial Bank Indonesia (BI) Juda Agung menyampaikan bahwa aturan tersebut dilakukan karena UMKM sangat berperan dalam perekonomian, dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi.

Juda menjelaskan, bank yang tidak dapat memenuhi RPIM akan dikenakan sanksi, yang akan diawali dengan teguran tertulis terlebih dahulu pada Juni 2022 dan Desember 2022.

"Teguran tertulis tersebut akan ditembuskan kepada Otoritas Jasa Keuangan [OJK]," katanya.

Jika teguran tersebut tidak bisa dipenuhi, Juda menyebutkan akan ada sanksi teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,1 persen dikali nilai kekurangan RPIM (maksimal Rp 5 miliar untuk setiap posisi pemenuhan RPIM), yang akan diberlakukan sejak Juni 2023.

Namun, sanksi RPIM akan dikecualikan untuk bank yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha seperti kredit/pembiayaan dan/atau penghimpunan dana oleh OJK, Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI)/Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK), serta bank perantara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper