Bisnis.com, JAKARTA — Di tengah bayang-bayang resesi global, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat laju kredit perbankan masih tumbuh positif mencapai double digit pada Agustus 2022. Akan tetapi, di sisi lain, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh melambat.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan kredit perbankan tumbuh relatif stabil sebesar 10,62 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Agustus 2022. Pertumbuhan ini utamanya ditopang oleh jenis kredit modal kerja, yang naik 12,19 persen yoy.
“Adapun secara bulanan [month-to-month/mtm] kredit perbankan naik Rp20,13 triliun menjadi Rp6.179,5 triliun,” kata Dian dalam konferensi pers, Senin (3/10/2022).
Sementara itu, laju pertumbuhan DPK perbankan pada Agustus 2022 tercatat sebesar 7,77 persen secara tahunan menjadi Rp7.608 triliun. Laju pertumbuhan ini melambat dibandingkan posisi Juli 2022 yang meningkat 8,59 persen secara tahunan.
Adapun likuiditas perbankan terpantau masih dalam level memadai, meski di tengah tren penurunan likuiditas sebagai dampak dari pengetatan moneter baik melalui kenaikan giro wajib minimum (GWM) maupun suku bunga acuan.
OJK melaporkan rasio alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) dan alat likuid/DPK (AL/DPK) masing-masing sebesar 118,01 persen dan 26,52 persen. Posisi ini masih jauh di atas ambang batas minimum, yang masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Baca Juga
Rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) masih cukup kuat di level 25,21 persen, sementara profil risiko perbankan pada Agustus 2022 juga masih cukup terjaga dengan rasio NPL net sebesar 0,79 persen dan secara gross mencapai 2,88 persen.
Kendati kinerja perbankan secara keseluruhan dinilai masih stabil, OJK mulai mewanti-wanti terkait ancaman resesi ekonomi global yang kemungkinan terjadi lebih cepat dari perkiraan.
“Saya rasa memang kita paham bahwa resesi global hampir pasti akan terjadi, setidaknya pada 2023. Kalau tidak lebih cepat dari itu,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam kesempatan yang sama.
Ancaman resesi global meningkat seiring dengan kenaikan suku bunga kebijakan (policy rate) dari bank sentral utama di dunia, sebagai respons mengatasi tekanan inflasi. Kebijakan moneter ini dilakukan oleh mayoritas bank sentral global, tak terkecuali Bank Indonesia.
Mahendra mengatakan hal ini kemudian mendorong kekhawatiran resesi global meningkat, sehingga lembaga internasional seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), dan OECD menurunkan outlook pertumbuhan ekonomi global.
Meski resesi dipastikan terjadi, Mahendra mengatakan bahwa ada beberapa hal yang belum dapat diprakirakan, yakni seberapa berat kondisi resesi dan berapa lama akan terjadi. Akan tetapi, ekonomi Indonesia pada 2022 dan 2023 dia proyeksikan tetap tumbuh di atas 5 persen.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dinaikkan pada 2022 seiring harga komoditas yang masih tinggi dan terkendalinya pandemi Covid-19. Indikator perekonomian terkini juga mengonfirmasi berlanjutnya kinerja positif perekonomian Indonesia.
Hal tersebut antara lain terukur dari neraca perdagangan yang melanjutkan tren surplus, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur di zona ekspansif, dan indeks kepercayaan konsumen yang tetap optimistis.
“Optimisme itu saya rasa kita tempatkan di kondisi realistis, yaitu kita jaga stabilitas dengan baik dan kebijakan serta fasilitas yang dibutuhkan namun waspada dan pahami risiko transmisi dari ekonomi global yang semakin berat,” ungkap Mahendra.