Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Omnibus Law Atur Lembaga Penjaminan Polis Asuransi, Iuran Hingga Kesehatan Perusahaan Disorot

Pasal 78 menjelaskan bahwa program penjaminan polis asuransi diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Karyawan beraktivitas di kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) di Jakarta, Rabu (6/7/2022). Bisnis/Suselo Jati
Karyawan beraktivitas di kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) di Jakarta, Rabu (6/7/2022). Bisnis/Suselo Jati

Bisnis.com, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) mengatur lembaga program penjaminan polis (PPP) yang tertuang di dalam Bab VIII.

Dalam hal kepesertaan, setiap perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis, itu sebagaimana tercantum dalam Pasal 72. Kemudian, pada Pasal 78 disebutkan bahwa program penjaminan polis diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Praktisi Senior yang juga Dewan Pendiri Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Irvan Rahardjo memandang kehadiran LPS menjadi alternatif yang paling baik saat ini. Hal ini mengingat, untuk membentuk lembaga baru sesuai dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 2014 membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

“Tentu harus kita sambut dengan sangat baik [LPS menjadi penyelenggara program penjaminan polis], karena dari sekian banyak perjalanan waktu yang kita tempuh untuk menciptakan lembaga penjamin polis itu, barangkali LPS tempat yang paling mungkin bisa kita wujudkan karena untuk membentuk lembaga baru seperti amanat Undang-Undang itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” kata Irvan dalam acara Webinar Nasional bertajuk ‘RUU PPSK – Program Penjaminan Polis’ yang diselenggarakan secara virtual, Senin (17/10/2022).

Meski demikian, Irvan mengkritisi beberapa isu penting tentang penyelenggaraan PPP dalam RUU P2SK, seperti luas cakupan penjaminan PPP. Menurutnya, salah satu hal ini perlu dirincikan lebih lanjut, yaitu apakah PPP hanya menjamin asuransi jiwa atau juga termasuk asuransi umum.

Selanjutnya mengenai iuran peserta menggunakan berbasis jumlah tetap atau berbasis risiko. Dia menjelaskan bahwa tidak semua perusahaan asuransi memiliki status kesehatan yang sama, maka dari itu harus melihat dari sisi risiko.

“Perusahaan yang berbasis risiko rendah tentu harus membayar iuran lebih tinggi. Sedangkan perusahaan yang RBC [risk based capital] tinggi bisa membayar lebih rendah. Jadi di sini ada subsidi silang,” tuturnya.

Kemudian, adanya kriteria dan syarat-syarat pemegang polis yang dijamin oleh program penjamin polis. Diikuti dengan risiko yang dikecualikan dalam PPP, mekanisme pembayaran klaim, dan pengaduan nasabah.

“Apakah pembayaran klaim menunggu perusahaan benar-benar dalam keadaan dicabut izinnya ataukah sejak gagal bayar itu bisa ditanggung oleh program penjamin polis?” Ujarnya.

Sorotan lain oleh mantan komisaris independen AJB Bumiputera 1912 periode 2011–2012 ini adalah jaminan keberlanjutan program penjamin polis, terutama perlindungan terhadap kerugian yang dialami oleh PPP. Dia memandang bahwa PPP juga bisa saja mengalami kemungkinan gagal bayar, sebab saat ini banyak perusahaan asuransi yang tengah mengalami permasalahan.

“Program penjamin polis itu juga mengalami kemungkinan gagal bayar, apalagi dalam keadaan perusahaan asuransi saat ini banyak yang mengalami masalah. Kita tahu bahwa soal Jiwasraya saja yang saat ini ditangani IFG belum sepenuhnya mendapatkan suntikan dana yang diperlukan. Belum lagi [AJB] Bumiputera yang saat ini juga masih terkatung, sehingga kalau itu semua menimbulkan akumulasi pada program penjamin polis, tentu mereka juga menghadapi ancaman mengalami insolvensi,” tuturnya.

Oleh sebab itu, imbuh Irvan, harus ada program lain yang menjadi second defense dari program penjamin polis. Hal-hal yang penting lainnya adalah mengenai prosedur pemailitan anggota alam LPP, mulai dari pemberesan sebagai atau seluruh harta kekayaan anggota LPP dalam likuidasi. Di samping itu, juga diperlukannya pemisahan antara direktorat penjaminan simpanan dengan penerimaan polis di dalam LPS.

“Yang lebih penting lagi, harus ada orang asuransi di dalam program penjamin polis, karena tidak mungkin kita menyerahkan sepenuhnya kepada perbankan, karena asuransi itu menganut berbagai masalah masalah teknis yang hanya bisa dikuasai oleh asuransi,” ungkapnya.

Selanjutnya, yakni co-insurance atau skema bagi beban dengan nasabah. Irvan menilai skema bagi beban dengan nasabah penting agar nasabah mengetahui bahwa tidak sepenuhnya mereka bisa mendapatkan kembali apa yang mereka jamin di dalam program penjaminan polis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rika Anggraeni
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper