Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut terdapat 11 perusahaan asuransi yang berstatus di bawah pengawasan khusus. Meskipun demikian otoritas tidak mempublikasikan nama-nama perusahaan asuransi bermasalah itu.
Permasalahan di sektor asuransi ibarat puncak gunung es, terdapat beberapa perusahaan yang mengalami gagal bayar hingga kemudian terungkap bahwa ada entitas lainnya dengan kondisi keuangan yang kesulitan. OJK bahkan menyebut bahwa terdapat 11 perusahaan dalam pengawasan khusus.
"Secara posisi saat ini pengawasan khusus untuk perusahaan asuransi ada 11 perusahaan," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Ogi Prastomiyono, belum lama ini.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu menjelaskan bahwa pihaknya pun tidak mengetahui perusahaan mana saja yang berstatus dalam pengawasan OJK. Menurutnya, hanya otoritas dan perusahaan-perusahaan terkait yang mengetahui hal itu.
Meskipun begitu, Togar menyebut bahwa terdapat berbagai kemungkinan suatu perusahaan mendapatkan pengawasan dari otoritas. Pertama, yang paling kentara, rasio kecukupan modal berbanding risiko (solvabilitas) atau risk based capital (RBC) perusahaan asuransi ada di bawah ketentuan, yakni 120 persen.
"Perusahaan diawasin OJK ini macam-macam kemungkinannya. Satu, ya RBC di bawah 120 persen sudah pasti dalam pengawasan khusus. RBC kaitannya pasti ke modal," ujar Togar kepada Bisnis, Senin (13/2/2023).
Baca Juga
Kedua, menurut Togar, terdapat pengaduan dari masyarakat terkait perusahaan tertentu dalam jumlah yang sangat banyak. Hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat merasakan adanya masalah dari perusahaan terkait, terutama masalah keuangan seperti terkait pembayaran klaim.
Ketiga, adanya indikasi masalah dalam penempatan investasi. Menurut Togar, masalah itu bisa dalam berbagai bentuk, mulai dari porsi instrumen-instrumen investasi, penempatannya, hingga imbal hasil yang kurang wajar.
Togar menyebut bahwa salah satu kondisi yang akan mendapatkan sorotan adalah penempatan investasi di grup sendiri. Tindakan itu dibatasi hanya sampai 25 persen agar tidak terjadi penempatan investasi 'dalam satu keranjang yang sama'.
"Faktornya tidak berdiri sendiri, semuanya saling berkaitan, bukan hanya RBC [kurang dari 120 persen] gitu misalnya," kata Togar.
RBC yang di bawah 120 persen memang melanggar ketentuan dan menunjukkan adanya masalah keuangan. Namun, menurut Togar, masalah itu dapat selesai cukup cepat jika pemilik perusahaan melakukan penambahan modal, yang seketika akan menaikkan RBC.
Selain itu, perusahaan pun dapat mendorong pelaksanaan restrukturisasi polis atau kontrak dengan mitra usaha. Restrukturisasi dapat mengubah catatan beban perusahaan di atas buku, sehingga akan memengaruhi RBC.
"Restrukturisasi penting, kalau disepakati semua pihak itu selesai semua RBC. Makanya indikatornya [perusahaan yang di bawah pengawasan khusus OJK] enggak bisa hanya RBC [di bawah ketentuan]," ujar Togar.