Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler Hari Ini: Laba Bank Ina (BINA) dan Rugi KB Bukopin (BBKP) Bengkak

Kinerja Bank Ina (BINA) dan KB Bukopin (BBKP) selama 2022 menjadi topik populer di Kanal Finansial Bisnis.com.
Gedung PT Bank Ina Perdana Tbk/Istimewa
Gedung PT Bank Ina Perdana Tbk/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Para pembaca Kanal Finansial Bisnis.com tertarik dengan artikel mengenai kinerja bank milik Grup Salim, PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA).

Sepanjang 2022, kinerja Bank Ina diketahui membukukan laba senilai Rp157,04 miliar. Raihan ini naik 4 kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Selain itu, pembaca juga mencermati kinerja PT Bank KB Bukopin Tbk. (BBKP) sepanjang tahun lalu. KB Bukopin masih mencatatkan rugi hingga Rp5,03 triliun.

Berikut daftar selengkapnya 5 berita terpopuler di Kanal Finansial Bisnis.com:

1. Bank Milik Salim (BINA) Raup Laba Rp157,04 Miliar Pada 2022

PT Bank Ina Perdana Tbk. (BINA) milik taipan Anthony Salim membukukan laba bersih pada 2022 sebesar Rp157,04 miliar, naik empat kali lipat atau 295,16 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) dibandingkan laba pada tahun sebelumnya Rp39,74 miliar.

Berdasarkan laporan keuangan, pertumbuhan pesat laba Bank Ina terdorong oleh pendapatan bunga bersih atau net interest income (NII) sebesar Rp594,06 miliar, naik 151,54 persen yoy.

Meski begitu, emiten bank berkode BINA ini mengalami penurunan pendapatan berbasis komisi atau fee based income 12,8 persen yoy, menjadi Rp9,81 miliar. Kerugian penurunan nilai aset keuangan (impairment) Bank Ina juga menebal dari Rp62,10 miliar pada 2021 menjadi Rp98,39 miliar pada 2022.

2. Rugi Bank KB Bukopin (BBKP) Bengkak Jadi Rp5,03 Triliun pada 2022

PT Bank KB Bukopin Tbk. (BBKP) masih membukukan kerugian pada 2022, bahkan membengkak 118,58 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp5,03 triliun, dibandingkan rugi pada 2021 sebesar Rp2,3 triliun.

Berdasarkan laporan keuangan, dikutip Minggu (9/4/2023), KB Bukopin sebenarnya mencatatkan peningkatan pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) 26,51 persen yoy menjadi Rp1,04 triliun pada 2022.

Namun, kerugian penurunan nilai aset keuangan (impairment) membesar dari Rp1,04 triliun pada 2021 menjadi Rp3,93 triliun pada 2022.

3. Jelang Lebaran, Orang Kaya Justru Makin Getol Menabung

Menjelang ramadan dan lebaran 2023, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatatkan pertumbuhan yang signifikan terhadap simpanan nasabah kaya di perbankan.

Berdasarkan data distribusi simpanan LPS, total simpanan nasabah di bank pada Februari 2023 mencapai Rp8.027 triliun, tumbuh 7,8 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Dari total nilai simpanan itu, porsi simpanan nasabah kaya atau dengan simpanan di atas Rp5 miliar menjadi paling mendominasi. Tercatat, nilai simpanan nasabah kaya mencapai Rp4.275 triliun dengan porsi 53.3 persen.

4. KPMG hingga Goldman Sachs Digugat Terkait Kebangkrutan Silicon Valley Bank

Sejumlah pihak digugat bersalah atas bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB). Beberapa di antaranya kantor auditor KPMG International Limited, Goldman Sachs Group Inc., Bank of America Corp, dan Morgan Stanley & Co.

Melansir laman Bloomberg, Minggu (9/4/2023) tuntutan tersebut diajukan pada Jumat, 7 April 2023 waktu setempat tersebut di pengadilan federal di San Francisco. Laporan menunjukkan Chief Executive Officer Silicon Valley Bank Greg Becker dan direktur serta pejabat bank lainnya sebagai tergugat.

Tuntutan tersebut tampaknya menjadi yang pertama menargetkan auditor dan penjamin emisi bank. Menurut gugatan para bank dan auditor salah menyampaikan posisi neraca, likuiditas, dan kondisi perusahaan di pasar.

5. Pasca-bangkrut Silicon Valley Bank, Aset Global Mengalir ke Asia

Gejolak perbankan yang terjadi di Amerika Serikat, kemudian mendorong uang masuk ke aset-aset Asia.

Hal ini lantaran investor bertaruh bahwa China dan dan negara-negara berkembang di kawasan ini memiliki posisi yang lebih baik dalam menghadapi kondisi tersebut.

Mengutip dari Bloomberg (9/4/2023), Analis Citibank menanggapi mengenai kondisi keuangan global, menunjukan bahwa pasar keuangan Asia mengalami pengetatan yang lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper