Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) merespons rencana regulator yang tengah menggodok Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terkait asuransi kredit. Keberadaan POJK ini merupakan aturan turunan dari Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sistem Perbankan (UU PPSK).
Ketua Bidang Produk, Manajemen Risiko, GCG AAJI Fauzi Arfan mengatakan bahwa saat ini OJK tengah mempersiapkan POJK khusus untuk mengatur asuransi kredit.
Berdasarkan informasi yang asosiasi terima, Fauzi mengungkap akan adanya perlakuan yang setara (equil treatment) antara perbankan dengan asuransi jiwa. Di dalam aturan tersebut, perbankan ikut menanggung sedikit risiko dari asuransi kredit. Pasalnya sejauh ini, Fauzi melihat industri asuransi yang menanggung risiko asuransi kredit.
“Kalau yang saat ini terjadi, memang terlihat posisi asuransi kurang begitu terlalu diuntungkan, seolah-olah semua harus ditanggung asuransi. Sementara perbankan seolah tidak menanggung risiko apapun. Ini yang kelihatannya sedang akan disentuh oleh regulator,” kata Fauzi dalam acara Webinar Insurance Outlook 2024, dikutip pada Rabu (8/11/2023).
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Iwan Pasila mengatakan peran asosiasi dalam pengembangan POJK asuransi kredit sangat dibutuhkan untuk membangun database. Hal ini dilakukan agar perusahaan asuransi, baik asuransi jiwa maupun asuransi umum, melakukan risk assessment dengan baik.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan regulator akan mengeluarkan POJK mengenai asuransi kredit sebagai pengganti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 124/PMK.010/2008 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship.
Baca Juga
Nantinya, beberapa pokok peraturan yang akan diatur dalam POJK asuransi kredit salah satunya adalah adanya pembagian risiko (risk sharing) dari bank dan perusahaan asuransi.
“Di mana, bank menanggung risiko tidak 100% dialihkan kepada asuransi, tapi hanya 75%. Artinya, bank masih tetap bertanggung jawab terhadap 25%,” kata Ogi dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) Bulanan Oktober 2023 secara virtual, Senin (30/10/2023).
Selain pembagian risiko, OJK juga memasukkan penerapan subrogasi yang lebih baik ke dalam POJK asuransi kredit. Diikuti dengan biaya akuisisi yang kini dibatasi hanya maksimum 10% dari sebelumnya 20%.
“Kemudian, jangka waktu pertanggungan juga kami batasi hanya 5 tahun. Meski kredit yang di pertanggungan jangka waktunya lebih dari 5 tahun, tapi jangka waktu yang ditanggung oleh perusahaan asuransi maksimum 5 tahun,” sambungnya.
Ogi menuturkan untuk asuransi umum tidak diperkenankan memberikan pertanggungan terhadap asuransi jiwa. Dengan demikian, asuransi jiwa hanya dilakukan oleh perusahaan asuransi jiwa.
POJK asuransi kredit juga mengatur klaim yang diajukan bank kepada perusahaan asuransi merupakan klaim yang benar-benar sudah dalam kategori macet.
“Jadi kalau masih dalam NPL, itu belum bisa diklaim, kondisinya harus dalam keadaan macet,” jelasnya.
Ogi menambahkan perusahaan asuransi juga dapat memiliki akses data-data terkait dengan kredit maupun debitur yang diasuransikan ke perusahaan asuransi.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara juga menjelaskan finalisasi atas penyempurnaan regulasi asuransi kredit untuk mendorong perbaikan dalam pengelolaan produk asuransi pada lini usaha asuransi kredit.
“Penguatan pengaturan terkait penyelenggaraan asuransi kredit bertujuan untuk mendorong agar penetapan tarif premi, penerapan praktik underwriting, dan pembentukan cadangan teknis yang memadai, berjalan secara prudent dengan didukung dengan data profil risiko yang lengkap dan kredibel,” ungkapnya.
Mirza merincikan untuk meningkatkan mitigasi risiko terhadap portofolio bisnis dari lini usaha asuransi kredit, beberapa substansi yang akan diatur ke depan di antaranya penetapan lingkup risiko yang ditanggung oleh produk asuransi kredit dan kewajiban sharing of risk dengan kreditur.
Serta, akses data perusahaan asuransi terhadap data debitur dan penggunaan tarif premi asuransi yang sesuai dengan tingkat risiko non-performing loan (NPL) atau non-performing financing (NPF).