Bisnis.com, JAKARTA - Terletak di garis khatulistiwa membawa comparative advantage yang besar bagi Indonesia karena berbeda dengan negara-negara yang berada di iklim lainnya, negara yang berlokasi di iklim tropis, seperti Indonesia, memiliki suhu udara yang hangat dan ideal sebagai tempat bermukim bagi beragam flora dan fauna serta keanekaragaman hayati lainnya.
Namun, posisi strategis ini juga memiliki risiko terutama di akhir dan awal tahun baru seperti saat ini. Angin muson barat yang berhembus dari arah Asia bergerak menuju Australia, melalui Samudra Hindia dalam periode Oktober – April menyebabkan musim penghujan. Karenanya, sudah menjadi siklus tahunan bahwa menjelang akhir tahun, kewaspadaan terhadap kemungkinan bencana seperti banjir dan tanah longsor meningkat terutama karena bertambahnya curah hujan.
Di luar siklus musiman ini, sejarah bencana alam di Indonesia mengungkap besarnya kerugian jiwa maupun materi. Gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 menyebabkan kerugian ekonomi mencapai IDR 51,4 triliun (US$3,5 miliar), jauh melampaui jumlah dana cadangan bencana yang tersedia sebesar Rp3 triliun-Rp10 triliun (APBN) pada waktu itu.
Lebih lanjut, proyeksi yang dibuat oleh Bank Dunia memperkirakan bahwa kerugian ekonomi akibat bencana alam bisa mencapai 0,66% hingga 3,45% dari PDB sampai dengan tahun 2030 jika tidak diantisipasi dengan serius dari jauh-jauh jauh-jauh hari.
Secara lebih detail, berdasarkan data dari Sensus Potensi Desa 2018 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menggambarkan frekuensi yang cukup mengkhawatirkan dari berbagai bencana alam di Indonesia. Setidaknya terjadi 3.597 kejadian banjir dan 2.651 kekeringan sampai dengan tahun 2017. Dampaknya terhadap keselamatan pun jiwa cukup mengancam. Tanah longsor sendiri menyebabkan 12.044 kematian, sementara kebakaran menelan korban hampir 900 jiwa pada tahun tersebut.
Sungguhpun demikian, tingkat mitigasi risiko yang terefleksikan dalam penetrasi industri jasa asuransi masih sangat kecil di Indonesia. Padahal kehilangan jiwa dan kerugian materi akan berdampak besar terhadap keberlangsungan kehidupan bagi generasi sesudahnya.
Baca Juga
Hingga akhir 2020, IFG Progress menemukan bahwa rasio jumlah polis asuransi jiwa terhadap populasi, hanya sekitar 1,4% di Indonesia jauh tertinggal dari Singapura (7,6%) dan Malaysia (4%). Demikian pula, densitas premi asuransi umum yang memungkinkan penutupan risiko seperti kecelakaan, kesehatan, kerusakan properti, dan risiko kesehatan juga sangat rendah. Secara rata-rata, setiap penduduk Indonesia hanya memiliki coverage US$17 per orang untuk risiko yang ditanggung asuransi umum – jauh di bawah Singapura (US$1.110/orang) dan Malaysia (US$153/orang).
Salah satu faktor dari rendahnya penetrasi ini adalah biaya akuisisi yang sangat tinggi di Indonesia. Secara rata-rata, studi IFG Progress menemukan bahwa untuk kasus unit-link sebagai contoh, struktur alokasi premi dalam lima tahun pertama terutama mencakup biaya akuisisi, biaya bulanan, asuransi, dan biaya administrasi. Dengan biaya akuisisi rata-rata sekitar 35% setiap tahun dalam lima tahun pertama, sisa bagian yang dialokasikan ke dana investasi hanya berada di bawah 15% dari total premi yang dibayarkan. Fenomena yang sama terjadi dalam asuransi umum di mana bagian biaya pialang masih cukup mahal.
Di sinilah seharusnya peran dari digitalisasi dan teknologi menjadi krusial. Di industri asuransi, adopsi teknologi yang digunakan dalam proses bisnis ini disebut dengan insurtech. Istilah "insurtech" muncul dari kebutuhan untuk implementasi inovasi digital oleh perusahaan asuransi, dengan tujuan mengejar perkembangan ekonomi global yang semakin dipengaruhi oleh teknologi digital.
Pengembangan insurtech diarahkan untuk memiliki potensi mengurangi biaya yang terlalu mahal salah satunya dalam proses akuisisi. Dengan memanfaatkan teknologi seperti Kecerdasan Buatan (AI), insurtech dapat memperpendek proses rantai nilai, memungkinkan perusahaan asuransi untuk menganalisis dan mengelola secara efisien, memberikan panduan produk yang akurat, menyederhanakan pengadaan dan pengolahan data, serta mempercepat proses underwriting sejalan dengan kebutuhan masyarakat.
Ke depan menjadi solusi ini akan berkontribusi pada efisiensi dalam structure cost. Penelitian menunjukkan bahwa otomatisasi dapat mengurangi biaya klaim asuransi hingga 30%. Oleh karena itu, insurtech membantu penyedia asuransi mengurangi biaya, meningkatkan keuntungan, meningkatkan kepuasan pelanggan, dan mempertahankan pelanggan dengan meningkatkan standar layanan, mengurangi waktu pemrosesan, dan menghemat biaya di seluruh rantai nilai.
Yang menjadi tantangan saat ini adalah karena insurtech membutuhkan struktur biaya teknologi yang mahal baik fixed cost maupun maintenance, perkembangannya masih sangat terbatas terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Studi IFG Progress menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2021, Indonesia baru menerima sekitar 3% investasi dari insurtech global. Angka ini terbilang kecil jika melihat potensi pasar yang sangat besar di Indonesia.
Dengan demikian diperlukan kerja sama lintas sektoral untuk mendorong peran digitalisasi di industri asuransi ini agar bisa meningkatkan coverage proteksi di masyarakat sehingga dapat berperan dalam mitigasi risiko. Prasyarat ini sangat penting terutama di negara yang dikelilingi oleh berbagai potensi bencana alam seperti Indonesia untuk menjaga keberlangsungan generasi ke depan