Bisnis.com, JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melaporkan sumbangan pajak industri financial technology peer-to-peer (fintech P2P) lending atau lebih dikenal dengan pinjaman online (pinjol) telah mencapai Rp1,95 triliun. Bagaimana kinerja keuangan industri ini?
Berdasarkan data DJP, pemerintah mencatat penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital sebesar Rp23,04 triliun hingga Maret 2024. Di antara jenis sektor usaha ekonomi digital penyumbang pajak adalah pinjol sebesar Rp1,95 triliun.
Penerimaan dari pajak pinjol tersebut berasal dari Rp446,40 miliar sebagai penerimaan pada 2022, Rp1,11 triliun penerimaan pada 2023, dan Rp394,93 miliar penerimaan pada 2024.
Adapun, pajak pinjol tersebut terdiri atas pajak penghasilan (PPh) 23 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar Rp677,78 miliar. Selain itu, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak luar negeri sebesar Rp231,43 miliar, dan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri atas setoran masa sebesar Rp1,04 triliun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman.
“Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha [level playing field] bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia,” ujar Dwi dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu.
Baca Juga
Namun, di tengah sumbangan pajak itu, industri pinjol membukukan kinerja keuangan yang lesu, setidaknya pada awal 2024.
Berdasarkan data Statistik P2P Lending Periode Januari 2024 yang dipublikasikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri pinjol membukukan rugi bersih senilai Rp135,61 miliar pada Januari 2024, setelah sepanjang tahun lalu meraup laba bersih. Kondisi tersebut berbalik dibandingkan periode yang sama 2023 dengan laba bersih Rp50,48 miliar.
Rasio profitabilitas industri pinjol pun memburuk. Tercatat, tingkat pengembalian aset (return-on-assets/ROA) sebesar -1,93%. Sementara, tingkat pengembalian ekuitas (return-on-equity/ROE) sebesar -3,76%.
Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) pun naik menjadi 95,87% pada Januari 2024, dibandingkan Desember 2023 sebesar 89,75%. Artinya, industri pinjol semakin tidak efisien dalam operasional bisnisnya.
Kualitas aset pun memburuk. Tercatat, tingkat keberhasilan bayar 90 hari (TKB90) pinjol mencapai 97,05%. Artinya, rasio kredit macet atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) ada di angka 2,95%, naik tipis dibandingkan kondisi bulan sebelumnya 2,93%.
Meski begitu, per Januari 2024, penyaluran pinjaman industri pinjol mencapai Rp22,07 triliun, atau naik 17,79% secara tahunan (year on year/yoy), dengan jumlah penerima pinjaman mencapai 9,94 juta akun.
Lalu, terdapat 101 penyelenggara pinjol dengan total aset mencapai Rp7,03 triliun dengan total liabilitas Rp3,43 triliun dan ekuitas Rp3,6 triliun per Januari 2024.