Bisnis.com, JAKARTA--Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebagai perpanjangan Presiden untuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) optmistis dana kelolaan program Jaminan Kehilangan Pekerja (JKP) alias tunjangan pengangguran yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan tetap aman meskipun ada rancangan kenaikan manfaat oleh pemerintah.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah akan menaikkan manfaat program JKP menjadi dibayarkan 45% dari upah terakhir dengan batas Rp5 juta dalam 6 bulan berturut. Sebelumnya hanya 3 bulan yang menerima manfaat ini, sedangkan 3 bulan sisanya hanya dibayarkan 25%.
Tidak cuma itu, pemerintah juga akan memperluas kriteria penerima manfaat JKP kepada pekerja Perjanjian Waktu Tertentu (PWKT), dan menambah alokasi biaya pelatihan penerima manfaat menjadi Rp2,4 juta dari sebelumnya Rp1 juta. Dengan kenaikan manfaat tersebut, ketahanan dana JKP menjadi dipertanyakan.
Apalagi saat ini sedang terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang melonjak membuat klaim yang dibayar BPJS Ketenagakerjaan semakin besar. Sampai Juli 2024, BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan manfaat JKP sebanyak 32.931 klaim, atau meningkat 8,7% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya.
"Kinerja investasi pada program JKP membantu ketahanan dana. Tren PHK sejauh ini masih pada sektor tertentu terutama garmen tekstil," kata Anggota DJSN Mickael Bobby Hoelman kepada Bisnis, Rabu (18/9/2024).
Baca Juga
Respons Mickael tersebut juga menjawab tantangan pemerintah, apakah mampu mempertahankan proyeksi rasio klaim JKP di level 20,3% pada 2029 nanti ketika manfaat JKP naik tapi iurannya tetap.
Sementara bila dilihat dalam laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan 2023, komposisi pendapatan investasi pada Dana Jaminan Sosial (DJS) Ketenagakerjaan program JKP terbilang minor. Angkanya hanya Rp630,5 miliar atau hanya 18,81% dari total pendapatan pada 2023 sebesar Rp3,35 triliun. Sisanya, adalah pendapatan dari dana rekomposisi Rp1,41 triliun, pendapatan iuran pemerintah pusat Rp1,30 triliun, dan pendapatan lain Rp134 juta.
Pada 2023, pendapatan investasi JKP jauh lebih kecil dari pendapatan investasi di DJS Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang mencapai Rp4,06 triliun, DJS Jaminan Kematian (JKM) Rp1,15 triliun, DJS Jaminan Hari Tua (JHT) Rp29,70 triliun, dan juga pendapatan investasi dari DJS program Jaminan Pensiun (JP) sebesar Rp10,32 triliun.
Adapun iuran JKP sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 adalah sebesar 0,46% dari total upah pekerja sebulan. Dari angka tersebut, 0,22% dibayarkan oleh pemerintah. Sisanya, 0,14% dari rekomposisi iuran JKK dan 0,10% rekomposisi iuran program JKM.
Dalam hal ketahanan dana, Mickael juga menyoroti kaitannya dengan rekomposisi iuran JKK dan JKM dalam iuran JKP. "Ketahanan dana masih aman sejauh ini. Upaya perbaikan harus selaras mengingat isu rekomposisi dalam JKP dengan program JKK dan JKM. Upaya perbaikan aturan di JKP perlu harmonis pula dengan PP [Peraturan Pemerintah] terkait JKK dan JKM," kata Mickael.
Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan saat ini rasio klaim JKP masih kecil, di sekitar 10%. Dengan tren PHK yang meningkat, Timboel menghitung dengan ketahanan dana JKP saat ini hal itu hanya akan menaikkan rasio klaim ke level 20%.
Dengan kondisi keuangan tersebut, Timboel menilai presentase iuran JKP yang dipotong dari upah pekerja tidak perlu naik. "Secara persentase iuran JKP tidak perlu naik dulu, namun secara nominal akan naik karena adanya kenaikan upah minimun tiap tahun," kata Timboel.
Namun, Timboel tidak bisa memastikan ketahanan dana JKP akan berlangsung dalam jangka panjang. Beberapa indikatornya seperti tren PHK yang melonjak, di mana PHK pada bulan Juli 2024 mencapai 42.863, melesat 1.186% dibanding jumlah PHK pada Januari 2024 sebesar 3.332.
Secara akumulasi, pekerja terdampak PHK sepanjang Januari hingga Juli 2024 sebanyak 144.399 pekerja.
Apalagi, rasio kesehatan keuangan JKP pada 2023 merosot drastis menjadi 431 bulan dibanding 2.807 bulan pada 2022. Oleh karena itu, untuk memastikan ketahanan dana JKP dalam jangka panjang menurutnya iuran jaminan sosial harus ditinjau berkala, apalagi ada kenaikan manfaat.
"Jadi tetap iuran harus dinaikkan. Mengenai kapan, nah itu akan dihitung aecara aktuaria agar rasio klaim rendah dan ketahanan dana semakin kuat.
Karena rasio klaim masih rendah sekitar 10%, dan dana JKP masih besar sekitar Rp12 triliun maka kenaikan manfaat bisa dilakukan," kata Timboel.