Bisnis.com, JAKARTA - Dalam 8 tahun perkembangannya, industri fintech peer-to-peer (P2P) lending telah menghadapi tantangan dan pasang surut perjalanan.
Berdasarkan Roadmap Pengembangan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi 2023—2028, tantangan tersebut di antaranya berasal dari permodalan; tata kelola dan manajemen risiko; keandalan sistem IT dan credit scoring; isu penagihan dan keamanan siber.
Secara kuantitas, jumlah penyelenggara P2P lending pun mengalami dinamika tersendiri. Total penyelenggara P2P lending sempat mencapai angka tertinggi yakni 164 entitas pada Desember 2019. Namun, seiring perjalannya, saat ini terdapat 97 entitas yang aktif beroperasi.
Walaupun dalam kurun waktu tersebut, outstanding penyaluran relatif masih mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu Rp13,16 triliun pada Desember 2019 menjadi Rp66,98 triliun pada Desember 2023 (data statistik OJK).
Hal ini mencerminkan bahwa walaupun dari sisi penyaluran outstanding masih dinilai prospektif, tetapi secara kuantitas jumlah penyelenggara terjadi penurunan. Penyebabnya antara lain, penyelenggara kurang adaptif menghadapi dinamika industri, penyesuaian dengan perubahan regulasi yang berlaku, keputusan untuk mengembalikan izin usaha karena kondisi internal perusahaan sendiri serta faktor lainnya.
Pembenahan di industri P2P lending terus dilakukan sehingga diharapkan tidak hanya kuat dari sisi kuantitas tetapi juga dari sisi kualitas. Salah satu bentuk pembenahan tersebut di antaranya penguatan aspek permodalan.
Baca Juga
Permodalan merupakan salah satu aspek penting dalam beroperasinya suatu perusahaan. Permodalan yang kuat dapat mendukung stabilitas kinerja keuangan, menyediakan ruang berinovasi, memperluas jaringan pasar, dapat memiliki SDM yang kompeten, serta menjaga keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang, sehingga penyelenggara dapat membangun kepercayaan stakeholder.
Dampaknya yakni dapat menarik minat lender untuk melakukan penyaluran dengan skala masif. Selain itu, mampu menawarkan produk dan inovasi yang bervariasi sehingga menjangkau borrower dari lapisan kalangan masyarakat.
BATAS MINIMUM EKUITAS
Indikator permodalan yang kuat salah satunya dengan penetapan batas minimum ekuitas. Berdasarkan Pedoman Akuntansi Fintech P2P Lending, Ekuitas adalah porsi kepemilikan atas aset entitas setelah dikurangi dengan liabilitas yang dimiliki oleh entitas.
Batas ekuitas P2P lending telah diatur dalam POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. Pasal 50 menjelaskan bahwa penyelenggara wajib setiap saat memiliki ekuitas paling sedikit Rp12,5 miliar. Di mana batas minimum tersebut dilakukan bertahap yaitu paling sedikit Rp2,5 miliar pada 2023, Rp7,5 miliar pada 2024, dan Rp12,5 miliar pada 2025.
Pemberlakuan batas minimum ekuitas yang dilakukan secara bertahap tersebut dapat memberikan kesempatan bagi penyelenggara P2P lending yang berada di batas minimum ekuitas, untuk mempersiapkan action plan dan langkah strategis untuk meningkatkan ekuitasnya. Sehingga penyelenggara P2P lending diarahkan secara agregat untuk berada di angka ekuitas di atas Rp12,5 miliar dan tercipta permodalan yang kuat dan stabil ke depannya.
LANGKAH KE DEPAN
Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan penyelenggara P2P lending dalam meningkatkan atau mempertahankan ekuitas sesuai dengan batas yang ditentukan. Pertama, penyelenggara secara cermat memperhatikan kinerja perusahaan dan responsif menghadapi potensi kerugian sehingga laba/rugi perusahaan dapat terjaga, mengingat kerugian yang berkesinambungan dapat berdampak pada tergerusnya nilai ekuitas.
Kedua, penyelenggara dapat meninjau kembali beban operasional yang membutuhkan biaya tinggi untuk dilakukan efisiensi. Pos kegiatan yang membutuhkan biaya besar di antaranya biaya marketing, pengembangan IT, pengembangan organisasi dan sebagainya. Penghematan biaya operasional tersebut dapat menjadi alternatif dalam mendongkrak ekuitas bagi penyelenggara yang berada di bawah batas minimum.
Ketiga, menjajaki peluang merger di antara P2P lending. Merger dapat menjadi salah satu opsi penguatan permodalan, terutama di antara P2P lending yang ekuitasnya masih di bawah ketentuan minimum. Selain itu, merger juga dapat menghasilkan kolaborasi yang kuat dengan menggabungkan competitive advantage dari masing-masing entitas. Hal ini dapat mendorong penetrasi pasar dengan cepat dan juga efisiensi biaya operasional.
Keempat, penyelenggara secara berkesinambungan menjaga kinerja, reputasi serta memperluas jaringan relasi perusahaan sehingga berpotensi menarik investor yang prospektif yang memiliki kecukupan modal. Dalam hal ini penyelenggara dianjurkan tidak hanya memiliki basis orientasi pemenuhan ekuitas di batas minimum, tetapi di atas Rp12,5 miliar. Dengan demikian, tidak hanya meningkatkan tren penguatan permodalan industri P2P lending secara agregat, tetapi juga mendorong perkembangan industri P2P lending secara progresif dan berdampak secara optimal ke depannya.