Bisnis.com, JAKARTA – Belakangan ini marak mencuat kasus gugatan dari pihak lender atau pemberi dana dalam pinjaman online atau fintech P2P lending. Pengamat pun menyoroti skema pembagian risiko pinjaman online.
Contohnya adalah gugatan yang dilayangkan Josua Decardo Siregar dengan nomor perkara 18/G/2025/PTUN.JKT menggugat Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam kasus ini, penggugat merasa keberatan akan ketentuan di dalam Surat Edaran OJK Nomor 19 Tahun 2023 yang mengatur seluruh risiko pendanaan P2P lending ditanggung oleh lender.
Contoh lainnya, gugatan dari lender perusahaan penyelenggara P2P lending Modal Rakyat, Haryani, yang menggugat Modal Rakyat menanggung ganti rugi sebesar Rp300 juta. Gugatan dengan nomor perkara 187/Pdt.G/2024/PN JKT.SEL tersebut telah dimenangkan Modal Rakyat karena gugatan yang dilayangkan diputuskan tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijke Verklaard.
Menanggapi fenomena maraknya gugatan lender ini, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menjelaskan salah satu paradigma yang harus ditanamkan adalah pendanaan di pinjaman daring adalah sebuah investasi yang pasti ada risikonya.
"Maka dari itu, harus ada pembagian risiko bagi lender juga karena memang sifatnya yang investasi. Platform tugasnya adalah menganalisis kemampuan pembayaran borrower agar mengurangi tingkat gagal bayar dari borrower," kata Huda kepada Bisnis, Selasa (28/1/2025).
Selain itu, Huda menilai pihak platform penyelenggara P2P lending juga wajib menunjukkan kemampuan bayar borrower secara sempurna kepada lender, sehingga lender mempunyai informasi yang jelas mengenai borrower sebelum meminjamkan dananya.
"Namun, jika terjadi fraud yang disebabkan oleh platform, maka pihak lender bisa menuntut ke pengadilan terkait. Platform harus bertanggung jawab sepenuhnya atas gagalnya platform dalam menarik pinjaman dari borrower yang disebabkan fraud oleh pihak manajemen. Seperti yang terjadi di Investree yang memang ada fraud yang dilakukan oleh platform pinjaman daring," kata Huda.
Sebagai informasi, berdasarkan Surat Edaran OJK Nomor 19 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi dalam Bab IV Mekanisme Penyaluran dan Pelunasan Pendanaan pada poin h mengatur bahwa seluruh risiko pendanaan yang timbul dalam transaksi P2P lending ditanggung sepenuhnya oleh lender.
Di sisi lain, penyelenggara P2P lending bertanggung jawab dalam hal terjadi kelalaian atau kesalahan yang disebabkan oleh penyelenggara P2P lending dan menimbulkan kerugian bagi lender.
Sebelumnya, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) juga merespons kasus gugatan lender P2P ini. Ketua Umum AFPI Enjtik S. Djafar mengatakan sebelum lender memberikan dananya kepada penyelenggara P2P lending, mereka harus paham model bisnis di dalam P2P lending ini.
Entjik juga mengatakan AFPI mengapresasi langkah OJK yang mengklasifikasikan lender menjadi lender profesional dan nonprofesional. Hal ini menurutnya untuk memastikan lender terliterasi dengan baik.
"Lender harus paham. Makannya OJK mengatur ada profesional lender. Kalau lender tidak mengerti, bahaya ini. Kan lender harus mengerti, ini ada risikonya, ketika dia setuju, yakin atau tidak, bawah ini risikonya bisa di-cover sama dia, tidak ada masalah," kata Entjik.