Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan tiga dari lima badan usaha milik daerah yang dilakukan pemeriksaan tidak melaksanakan regulasi sesuai kriteria.
Dikutip dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2024 yang diserahkan Ketua BPK Isma Yatun dalam rapat paripurna DPR RI hari ini (27/5/2025) di Jakarta, disebutkan pihaknya telah menyelesaikan LHP kepatuhan atas kegiatan operasional di lima BUMD pada lima pemda dengan lingkup pemeriksaan tahun 2022–2024.
"Pemeriksaan tersebut meliputi 3 bank pembangunan daerah (BPD) dan 2 BUMD yang bergerak di bidang lainnya, yang terdapat pada Provinsi DKI Jakarta, Riau, Sumatra Selatan, dan Bengkulu," dikutip dari IHPS.
Hasil pemeriksaan menyimpulkan kegiatan operasional BUMD telah dilaksanakan sesuai dengan kriteria pada satu lembaga, sesuai kriteria dengan pengecualian pada satu BUMD, dan tidak sesuai dengan kriteria pada 3 BUMD lainnya.
Temuan yang dipaparkan di antaranya aspek pengelolaan kredit di bank pembangunan daerah. Perinciannya, di Bank Bengkulu, BPK menemukan pengelolaan operasional tidak sesuai ketentuan. Hasil audit mencakup pemberian dan penambahan fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) kepada lima kreditur yaitu PT AJG, PT CPA, Ag, PT PB dan PT BMP tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian perbankan. Audit menyebut terjadi pelonggaran syarat yang harus dipenuhi oleh debitur dalam pencairan kredit, penilaian dan pengikatan agunan tambahan melebihi nilai agunan yang sebenarnya, serta analisa kredit tidak berdasarkan data yang memadai. Persoalan lainnya, klaim asuransi ditolak perusahaan asuransi karena pengajuan klaim kedaluwarsa, serta proses pemberian kredit tidak sesuai ketentuan.
Auditor BPK juga menemukan pemberian fasilitas kredit kepada 15 debitur pada KCP Tapos tidak sesuai ketentuan, seperti pemberian tambahan fasilitas KMK Usaha (non-revolving) kepada debitur yang kualitas kreditnya sering menunggak tanpa sepengetahuan debitur untuk menghindari peningkatan portofolio Non Performing Loan, serta pembentukan dan pencairan rekening Kredit Guna Usaha fiktif.
Baca Juga
"Hal tersebut mengakibatkan PT Bank Bengkulu memiliki risiko kredit yang merugikan bank," jelas auditor.
Potensi kerugian itu meliputi pemberian KMK sebesar Rp10,92 miliar, klaim kredit macet yang telah ditolak oleh perusahaan asuransi senilai Rp13,74 miliar dan kredit yang tidak sesuai dengan kondisi senyatanya sebesar Rp2,87 miliar.
"BPK merekomendasikan Direktur Utama PT Bank Bengkulu antara lain agar memerintahkan pejabat terkait untuk melakukan langkah-langkah percepatan penyelamatan kredit serta menyelesaikan potensi kerugian sesuai ketentuan yang berlaku," ditulis lebih lanjut.
BPK juga menyoroti pemberian kredit di PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Riau Kepri Syariah alias BRK Syariah tidak sesuai ketentuan. Temuan itu terutama pada pemberian pinjaman agribisnis kepada 38 nasabah untuk rehabilitasi perkebunan dan kepada 352 nasabah untuk pembelian lahan sawit. Debitur yang dibiayai itu tidak menggunakan kredit yang diberikan sesuai tujuan pembiayaan. BPK juga menyoroti legalitas agunan lahan kebun sawit yang diterima bank. Temuan lainnya di BRK Syariah, perjanjian pengalihan pembiayaan kredit modal kerja (KMK) rekening koran dan kredit investasi PT WIN kepada pihak ketiga (PT YSI) telah berakhir, tetapi kewajiban belum diselesaikan.
Sedangkan pada PT Petro Muba dan entitas anak, BPK menyoroti pendapatan, pengelolaan piutang, dan pengelolaan beban. Menurut BPK, BUMD milik Kabupaten Musi Banyuasin itu tidak melaksanakan kegiatan pengangkatan dan pengangkutan minyak bumi sesuai perjanjian kerja sama dengan PT Pertamina EP. Perusahaan memilih mengalihkan seluruh pekerjaan kepada kelompok masyarakat dan PT OLPE. Model bisnis ini membuat PT Muba hanya menerima komisi atas pembayaran dari PT Pertamina EP.
Bisnis Petro Muba lainnya yang disorot adalah kegiatan anak usaha PT Muba Electric Power (PT MEP) yang tidak memiliki strategi penagihan atau tidak secara aktif melakukan penagihan atas tunggakan pelanggan sebesar Rp43,31 miliar. Anak usaha tersebut juga disinyalir melakukan pemahalan harga atas pengadaan material dan aksesori listrik periode tahun 2020 s.d. Oktober 2024 sebesar Rp1,17 miliar.
Ketidakpatuhan operasional ini dinilai BPK dapat mengakibatkan PT Petro Muba mengalami pemutusan perjanjian dan menerima sanksi atas ketidaksesuaian pelaksanaan perjanjian kerja sama dengan PT Pertamina EP. Terjadi peningkatan risiko kerugian PT MEP atas tunggakan yang tidak tertagih serta kerugian keuangan PT MEP sebesar Rp1,17 miliar atas pemahalan pengadaan.
"BPK merekomendasikan Direktur Utama PT Petro Muba untuk memedomani ketentuan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya terkait pelaksanaan kegiatan pengangkatan dan pengangkutan minyak bumi dan memerintahkan Direktur PT MEP agar lebih optimal dalam melakukan penagihan tunggakan dan memproses kerugian pengadaan sebesar Rp1,17 miliar serta menyetorkannya ke kas PT MEP," tertulis dalam laporan.
Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas operasional BUMD mengungkapkan 74 temuan yang memuat 124 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 71 kelemahan SPI, 47 ketidakpatuhan sebesar Rp45,08 miliar, serta 6 permasalahan 3E sebesar Rp7,97 miliar. Selama proses pemeriksaan berlangsung, BUMD terkait telah menindaklanjuti rekomendasi BPK dengan melakukan penyetoran ke kas daerah/BUMD sebesar Rp3,25 miliar.
Catatan Redaksi
Artikel ini mengalami perbaikan judul pada Rabu, 28 Mei 2025 pada pukul 7.27 WIB pada judul.