Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Terbitkan Peraturan CIF, Pelaku Asuransi Gembira

Pelaku asuransi umum menyambut positif diterbitkannya regulasi PMK No.41/2014 tentang Tata Cara Pengisian Nilai Transaksi Ekspor dalam Bentuk Cost, Insurance, and Freight(CIF) pada Pemberitahuan Ekspor Barang
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA --Lama menantikan regulasi CIF, kalangan asuransi umum kini seakan tinggal memetik apa mereka tunggu-tunggu.

Pelaku asuransi umum menyambut positif diterbitkannya regulasi PMK No.41/2014 tentang Tata Cara Pengisian Nilai Transaksi Ekspor dalam Bentuk Cost, Insurance, and Freight (CIF) pada Pemberitahuan Ekspor Barang. 

Ahmad Amiruddin, Kepala Divisi Reasuransi PT Asuransi Ekspor Indonesia (Asei), mengatakan pihaknya menyambut baik kebijakan CIF yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan tersebut.

Menurutnya, pelaku industri asuransi umum sudah menunggu cukup lama terkait kebijakan tersebut.

“Kalau pakai skema CIF, nantinya harus pakai asuransi lokal. Selama ini kan kalau FOB pakainya asuransi asing,” kata Ahmad kepada Bisnis, Kamis (27/2/2014).

Asei sendiri merupakan perusahaan asuransi BUMN yang dilibatkan dalam pembahasan skema CIF ini sejak tahun lalu.

Ahmad mengatakan pihaknya akan memantau proses pencatatan penggunaan jasa asuransi oleh eksportir sejak 1 Maret 2014.

Pemantauan itu dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak premi yang dibayar oleh eksportir kepada perusahaan asuransi Indonesia.

“Kami akan evaluasi selama 1 tahun, seberapa besar premi tersebut,” katanya.

Terkait pelaksanaan skema ini oleh industri asuransi umum, kemungkinan akan dibentuk suatu konsorsium yang terdiri dari sejumlah perusahaan.

Teknis pembentukan konsorsium itu, lanjut Ahmad, dibahas oleh Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI).

Dalam implementasinya, pengiriman barang pada umumnya tidak ada yang tanpa menggunakan jasa asuransi.

Pertanggungan itu sendiri biasanya dapat menanggung tiga risiko.

Pertama, risiko kerusakan serta hilangnya barang yang diangkut (marine cargo).

Kedua, risiko bahaya laut yang dihadapi kapal (marine hull).

Ketiga, risiko tidak dibayarnya barang oleh importir karena alasan komersial atau politik.

Alasan komersial antara lain importir pailit, cedera janji atau menolak menerima barang, sedangkan alasan politik antara lain larangan transfer, pembatasan kuota impor, pencabutan izin usaha dan perang atau tindakan permusuhan lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Yodie Hardiyan
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper