Bisnis.com, JAKARTA — Setelah Standard Chartered Bank (SCB) mengumumkan rencana pelepasan saham di PT Bank Permata Tbk. (BNLI), sejumlah spekulasi mengenai siapa calon pembeli serta kisaran harga jual saham pun bermunculan.
Dalam sebuah riset yang diterbitkan oleh perusahaan sekuritas CLSA Indonesia, satu calon kuat investor pembeli Bank Permata, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk., diproyeksi akan memberikan penawaran 1,8 kali nilai buku (price to book value/PBV).
Dengan asumsi harga saham per lembar BNLI yang ditutup pada posisi Rp995 per lembar, kemarin (27/3/2019), bank pelat merah tersebut hendak membeli dengan harga sampai dengan Rp1.492,5 per lembar.
Belum lama ini, RHB Sekuritas juga sempat merilis riset serupa. Dua analis Alvin Baramuli dan Henry Wibowo mengatakan bahwa Bank Permata bisa dilepas dengan harga 1,5 kali atau 2,0 kali di atas nilai buku.
Berdasarkan data terakhir per 28 Februari 2019, jumlah saham Bank Permata yang dikuasai oleh SCB adalah sebanyak 12,49 miliar saham, atau mencapai 44,56% dari total saham yang beredar.
Sebanyak 44,56% saham lainnya saat ini dikuasai oleh PT Astra International Tbk., sedangkan 10,88% sisa sahamnya dimiliki oleh publik dengan porsi kepemilikan kurang dari 5%.
Baca Juga
Mengacu kepada harga penawaran tersebut, apabila Bank Mandiri ingin mengakuisisi saham Permata yang dikuasai oleh SCB, maka dana yang harus disiapkan untuk melakukan aksi korporasi tersebut sekitar Rp13 triliun hingga Rp15 triliun.
Kepala Riset PT Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menilai harga penawaran maksimum saham BNLI milik SCB dua kali nilai buku. Hal ini menimbang kondisi bank yang masih berkutat dengan kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).
“Sebenarnya di bawah 2 kali harga buku itu bisa dibilang murah. Biarpun kinerja sedang tidak optimum, tapi ini BUKU [bank umum kelompok usaha] III menengah atas,” katanya belum lama ini kepada Bisnis.
Dalam beberapa waktu terakhir, aksi korporasi terkait akuisisi di dunia perbankan mencatat harga penawaran sekitar 1,4 kali PBV hingga lebih dari 2 kali PBV. Namun tentu saja, calon investor bukan hanya melihat besaran aset bank, tapi juga kondisi terkini perseroan juga menjadi pertimbangan harga penawaran.
MASALAH NPL
Berdasarkan laporan publikasi, fungsi intermediasi Bank Permata secara individu sepanjang 2018 membukukan Rp91,1 triliun atau naik 8,9% (year-on-year/yoy). Per Desember 2018, kualitas aset Bank Permata terbilang membaik, tetapi rasio kredit bermasalah perusahaan masih terbilang tinggi, yakni mencapai 4,36% per Desember 2019 secara gross, turun tipis dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yakni 4,6%.
Direktur PT Investa Saran Mandiri Hans Kwee berpendapat bahwa harga saham BNLI tengah berada di bawah posisi harga jual kebanyakan bank yang mewarnai tren akuisisi belakangan ini. Seperti diketahui sejumlah bank mendapat penawaran lebih dari dua kali nilai buku dari para investor baru.
“Ya memang ini tidak lepas dari kinerja Bank Permata yang belakangan yang tertekan karena kredit macet,” katanya.
Hans menilai bagi SCB menjual dengan harga 1,5 kali sampai dengan 2,0 kali nilai buku terbilang tidak menguntungkan. Pasalnya jika menilik ke belakang SCB duduk sebagai pemegang saham pengendali sejak 2004. Selama kurang lebih 15 tahun, SCB telah menggelontorkan dana lebih dari Rp9 triliun secara bertahap dari akusisi saham dan juga setoran modal tambahan melalui rights issue.
“Kalau hitung CAGR [compund annual growht rate] berarti SCB cuma dapat keuntungan sekitar 3,6% dari penjualan BNLI,” katanya.
Namun tentu saja angkanya tidak mutlak demikian. Pasalnya SCB bersama PT Astra International Tbk. menggelontorkan dana segar kepada BNLI secara bertahap selama berbagi kursi pemegang saham pengendali (PSP).
Hans melanjutkan keuntungan sebesar 3,6% dari menjual saham dalam jumlah besar terbilang kecil. Dia memberikan perbandingan surat utang yang dikeluarkan pemerintah memiliki imbal hasil sekitar 6% hingga 8%.
Akan tetapi, perlu juga dicatat bahwa SCB dalam posisi hendak menjual BNLI yang sudah dianggap beban untuk mengejar pertumbuhan.
Group Chief Executive SCB Bill Winters mengatakan aset di sejumlah negera, satu di antaranya Indonesia, harus dilego untuk mencapai target rasio laba atas ekuitas berwujud (return on tangiable/RoTE) pada kisaran 10% pada 2021. Dengan demikian bisa jadi keuntungan sebesar 3,6% bagi SCB sudah cukup untuk membuatnya melenggang keluar dari jajaran pemilik saham BNLI dengan tersenyum.