Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memastikan bahwa penjaminan yang dilakukan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional sebatas pada dana milik pemerintah yang ditempatkan pada bank jangkar atau bank peserta.
Ketua Komisioner LPS Halim Alamsyah menyampaikan bahwa lembaganya hanya menjamin risiko penempatan dana milik pemerintah pada bank peserta yang disalurkan kepada bank pelaksana.
Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi apabila bank yang bersangkutan menjadi bank gagal operasional. “Ini sesuai dengan fungsi LPS dalam menjamin simpanan dan dalam hal ini atas simpanan pemerintah yang ada di bank,” ujar Halim kepada Bisnis, Sabtu (16/2020).
Halim menegaskan bahwa risiko dalam penyaluran kredit bank jangkar kepada bank peserta tetap menjadi risiko bank itu sendiri. Hal itu, sambungnya, sebagaimana praktik sehari-hari yang dilakukan bank komersial.
“Penjaminan LPS diberikan kepada sisi penempatan dana pemerintah yang ada di sisi liabilities neraca bank. Risiko penempatan dana pemerintah itulah yang dijamin oleh LPS sehingga jika kemudian menjadi bank gagal maka simpanan pemerintah akan dikembalikan terlebih dahulu oleh LPS,” terangnya.
Mengenai kriteria penjaminan dana pemerintah akan mengikuti persyaratan yang ada di PP dan Peraturan Menteri Keuangan yang dalam tahap penyusunan.
Baca Juga
Dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (15/5/2020), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan penjaminan penempatan dana pemerintah tersebut muncul setelah ada pertanyaan mengenai risiko apabila bank pelaksana tidak bisa mengembalikan dana ke bank peserta.
"Risikonya di siapa? Ini pertanyaan penting, sudah dibahas dengan Menteri Keuangan akan ada penjaminan LPS," ujarnya.
Wimboh menyampaikan tugas bank jangkar untuk menyalurkan bantuan likuiditas ini tidak akan membebani likuiditas bank. Selain risikonya terjaga dengan penjaminan LPS, bank jangkar juga dimungkinkan sebagai bank pelaksana. Bank jangkar atau bank peserta pun juga akan mendapatkan margin dari penyaluran bantuan likuiditas tersebut.
Dalam PP No/23/2020 pada Pasal 10 dijelaskan bahwa pemerintah memberikan dukungan likuiditas kepada bank yang melakukan restrukturisasi kredit atau pembiayaan serta memberikan tambahan kredit atau pembiayaan modal kerja.
Penempatan dana tersebut diberikan kepada bank jangkar. Kemudian, bank jangkar menyalurkan kepada bank pelaksana yang membutuhkan likuiditas. Praktik ini seperti dilakukan pada pasar uang antarbank (PUAB).
Pada PUAB bank saling memberikan pinjaman dengan skema bunga semalam atau overnight. Namun, karena banyak bank yang melakukan restrukturisasai kredit dan kekurangan likuiditas membuat skema itu tidak jalan, sehingga pemerintah memfasilitasi penyempatan dana di bank jangkar.
Fenomena seperti ini sempat terjadi saat krisis global pada 2008. Bank terjadi segmentasi likuiditas. Bank besar memiliki dana besar, tetapi tidak berani menyalurkan ke bank di bawahnya karena masalah persepsi risiko.
Sementara itu, pemerintah juga menetapkan kriteria bank jangkar, yakni berbadan hukum Indonesia, beroperasi di wilayah Indonesia, dan minimal 51 persen saham dimiliki oleh warga negara Indonesia. Bank juga harus memiliki kategori sehat berdasarkan penilaian OJK dan termasuk dalam kategori 15 bank beraset terbesar. Penetapan bank jangkar ditentukan oleh Kementerian Keuangan dan OJK.
Adapun, syarat bagi bank pelaksana agar bisa mengakses likuiditas di bank jangkar adalah melakukan program restrukturisasi atau penyaluran kredit modal kerja pada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Selain itu, bank terkait memiliki portofolio surat berharga minimal 6 persen dari dana.
Hingga 10 Mei 2020 telah ada 3,88 juta debitur perbankan yang mendapatkan restrukturisasi dengan total baki debet mencapai Rp336,97 triliun. Sebagian besar restrukturisasi kredit diberikan pada debitur UMKM yang ada sebanyak 3,42 juta debitur dengan total baki debet mencapai Rp167,1 triliun.
Dari kebijakan restrukturisasi ini rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) tetap meningkat meskipun hanya terbatas. Pada posisi akhir 2019, rasio NPL berada pada kisaran 2,3 persen (gross). Pada kuartal I/2020, rasio NPL naik menjadi 2,7 persen (gross).