Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Asuransi Banyak Kasus, Ini Strategi OJK Jilid III

Pengawas Industri Keuangan Non-bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono memiliki catatan khusus soal permasalahan yang melanda industri asuransi belakangan ini.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan Ogi Prastomiyono./Bisnis - Abdullah Azzam
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan Ogi Prastomiyono./Bisnis - Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono meminta perusahaan asuransi untuk menguatkan tata kelola dan manajemen risiko di masing-masing internal perusahaan.

"Beberapa catatan OJK belakangan ini terkait dengan bagaimana tata kelola dan manajemen risiko di internal masing-masing. Oleh karena itu, terkait product development yang ditawarkan harus benar-benar dilakukan hati-hati," ujar Ogi dalam webinar Effective Dynamic Prudent Underwriting yang diselenggarakan ISEA-Himada, Selasa (26/7/2022).

Selain terkait pengembangan produk, peran komite investasi dalam mengalokasikan penempatan dana-dana yang dikelola perusahaan asuransi juga menjadi catatan OJK. Banyaknya penempatan investasi industri asuransi di pasar modal, kata Ogi, membuat pengawasan seolah-olah terlepas dari satu kesatuan perusahaan asuransi. Oleh karena itu, pihaknya akan melihat persoalan ini secara end-to-end.

"Kami di internal OJK akan kerja sama dengan pengawas pasar modal bagaimana dana-dana yang dikelola oleh perusahaan asuransi dapat terkelola dengan baik sehingga kewajiban perusahaan asuransi bisa dijaga dengan rasio-rasio yang baik," katanya.

Selain penguatan bisnis internal, Ogi juga meminta agar perusahaan asuransi dapat membangun dan menjaga hubungan baik dengan nasabah atau konsumen guna menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas dan kapasitas perusahaan asuransi dalam menyediakan produk layanan yang berkualitas tinggi dan perlindungan terhadap konsumen.

Dia pun menyoroti ramainya komplain nasabah asuransi beberapa waktu lalu yang mengemuka ke publik. Belajar dari kasus tersebut, menurutnya, perlu dilakukan sejumlah upaya dalam memberikan perlindungan konsumen, antara lain pemasaran produk secara transparan dan melibatkan tenaga pemasar yang memenuhi syarat.

"Perusahaan juga perlu mengembangkan mekanisme pemantauan, upaya yang terbaik dalam memberikan informasi terkait manfaat dan risiko. Kadang-kadang kita lupa menyampaikan risikonya, setiap produk yang ditawarkan ada manfaat dan risikonya," tutur Ogi.

Kemudian, dalam menyelesaikan pengaduan-pengaduan nasabah, Ogi mengharapkan agar perusahaan asuransi sebisa mungkin untuk menyelesaikannya secara internal melalui mekanisme internal dispute resolution.  Dia meyakini upaya penyelesaian secara internal akan dapat menjaga perusahaan asuransi dari paparan risiko reputasi dan risiko hukum yang terjadi akibat kasus misseling dari agen ataupun kanal distribusi lainnya.

Sementara itu, Direktur Teknik Indonesia Financial Group (IFG) Rianto Ahmadi menilai tata kelola dan manajemen risiko menjadi kunci untuk menciptakan pertumbuhan industri asuransi yang berkelanjutan.

Dia melihat tingkat penetrasi industri asuransi di Indonesia selama berpuluh-puluh tahun tak juga meningkat, meski transaksi ekonomi asuransi bertumbuh. Menurutnya, salah satu penyebabnya kemungkinan adalah karena pertumbuhan industri asuransi tidak cukup berkelanjutan.

"Ada saja ceritanya perusahaan A, B, C tahu-tahu roboh. Di satu periode beberapa perusahaan asuransi menciptakan pertumbuhan luar biasa, tapi terus kita lihat roboh. Jadi rupanya pertumbuhan yang tercipta bukan pertumbuhan yang sustainable. Kalau bicara sustainability growht paling pas lihat dari angle tata kelola dan manajemen risiko," kata Rianto.

Terkait tata kelola dan manajemen risiko asuransi, Rianto menekankan bahwa perusahaan asuransi harus mampu mengidentifikasi dan mengukur risiko dari produk-produk asuransi yang dijualnya. Dia mengatakan, risiko utama bisnis asuransi adalah risiko finansial yang ditransfer dari nasabah.

Bila perusahaan tidak bisa mengukur risiko bisnis tersebut, transaksi ekonomi dan penetapan premi asuransi yang ada cenderung hanya berdasarkan spekulasi. Hal inilah yang lantas membuat perusahaan asuransi mengalami kegagalan.

"Perusahaan-perusahaan yang ambruk pada dasarnya salah satunya rupanya risiko-risiko yang diperdagangkan tidak diukur dengan baik, ada semacam spekulasi dalam bertransaksi," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper