Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Direktur BCA (BBCA) Jahja Setiaatmadja dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) buka suara soal revisi aturan terkait devisa hasil ekspor (DHE). Jahja menilai aturan yang akan dilaksanakan pemerintah mampu memperkuat perekonomian nasional, khususnya nilai tukar rupiah.
"Jika dilakukan secara baik maka itu akan menambah suplai dari USD [dolar Amerika Serikat], karena kita lihat ada penguatan dari pada rupiah terhadap dollar AS," ujar Jahja di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (16/1/2023).
Jahja mengatakan bahwa perbankan juga akan mendukung langkah tersebut, salah satunya dengan penguatan literasi kepada nasabah.
Pemerintah akan menambah daftar sektor yang harus menempatkan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
Saat ini, hanya sektor pertambangan serta perkebunan, kehutanan, dan perikanan yang devisanya diwajibkan masuk dalam negeri. Salah satu sektor yang akan ditambahkan, yaitu manufaktur.
"Karena ini memang semacam kenaikan dari penerimaan dolar, dan kita membutuhkan dolar itu untuk mengawal ekonomi supaya kurs rupiah bisa terkendali," katanya.
Selain itu, menurut Jahja perbankan harus menyiapkan beberapa produk-produk yang menarik agar bisa membawa dolar ke dalam negeri.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae juga mengatakan bahwa otoritas akan membicarakan skema dalam mendorong kebijakan devisa hasil ekspor ini dengan Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan perbankan.
"Ini menjadi suatu treatment khusus yang diperlukan guna memastikan bahwa keberhasilan kita dalam peningkatan ekspor bisa terrefleksi dalam kekuatan cadangan devisa maupun likuiditas devisa kita ke depan," ujar Dian.
Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana merevisi aturan terkait devisa hasil ekspor untuk menambah sektor yang wajib menempatkan DHE di dalam negeri. Jokowi meminta jajarannya untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No.1/2019 tentang tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melaporkan hal tersebut karena Jokowi menginginkan kinerja ekspor yang positif harus diikuti dengan peningkatan cadangan devisa.
“Oleh karena itu Bapak Presiden meminta PP No.1/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor itu untuk diperbaiki,” ujarnya dalam Konferensi Pers Menteri terkait Rapat Terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Adapun, sektor-sektor yang akan ditambahkan dalam revisi PP No.1/2019, salah satunya manufaktur. Airlangga mengatakan saat ini hanya sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan, dan perikanan yang diwajibkan masuk dalam negeri.
"Ini akan kami masukan juga beberapa sektor termasuk sektor manufaktur. Kami akan lakukan revisi,” tambahnya.
Airlangga berharap peningkatan ekspor dan surplus neraca perdagangan akan sejalan dengan peningkatan cadangan devisa pada 2023.