Bisnis.com, JAKARTA - Pembiayaan online melalui fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) untuk sektor produktif masih minim, bahkan trennya menurun sepanjang tahun ini hingga Mei 2024.
Untuk mendorong pembiayaan online di sektor produktif, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana meningkatkan batas maksimum pendanaan produktif lebih tinggi dibanding batas maksimum sebelumnya sebesar Rp2 miliar.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar mengatakan pihaknya menyambut baik wacana OJK itu.
"Hal ini tentunya akan sangat membantu peningkatan pembiayaan pada sektor UMKM, di mana saat ini banyak kebutuhan diangka tersebut," kata Entjik kepada Bisnis, Kamis (18/07/2024).
Seiring hal tersebut, kata Entjik, para penyelenggara P2P lending mempersiap alat analisanya untuk melakukan mitigasi risiko yang lebih baik lagi.
OJK mencatat penyaluran pinjaman online ke sektor produktif makin merosot porsinya. Pada Februari hingga Mei 2024 berturut-turut semakin kecil, yakni 45,52%, 33,61%, 31,86%, menjadi hanya 31,52%.
Baca Juga
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda memandang ada beberapa masalah yang menjadi sebabnya. Pertama adalah risiko peminjaman dana ke badan usaha lebih tinggi dibandingkan pinjaman ke perorangan.
Dia mengutip catatan OJK, bahwa tingkat gagal bayar badan usaha menyentuh angka 8%, sedangkan perorangan hanya 2%. Artinya, risiko peminjaman di badan usaha lebih tinggi.
"Kedua, saat ini manfaat imbal balik di sektor produktif lebih kecil dibandingkan sektor konsumtif. Bunga harian sektor produktif 0,1%per hari, sedangkan sektor konsumtif 0,3%," kata dia.
Hal itu membuat peminjam lebih memilih menyalurkan pendanaan mereka ke sektor konsumtif dibandingkan produktif. Sebagai lender, kata dia, ketika ada pilihan dengan risiko dengan bunga manfaat lebih tinggi jelas akan memilih menyalurkan ke sektor konsumsi.
Kemudian yang ketiga, sektor konsumsi menurutnya memang pangsa pasarnya lebih besar. Sektor produktif terbatas untuk mikro dan ultra mikro saja.
"Maka dari itu, wacana kenaikan pagu pendanaan dari Rp2 miliar ke Rp10 miliar harus dipertimbangkan untuk diterapkan karena manfaatnya ada," ujarnya.
Sementara Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai pihak pemberi pinjaman online tidak selektif dan tidak mengarah ke produktif.
"Sementara masyarakat karena bukan untuk produktif dipakai untuk konsumtif dan judi online. Bahkan ada yang menganggap pinjol sebagai hadiah sehingga tidak ada keperluan untuk mengembalikan," ujarnua.
Dia menilai belum ada scoring untuk memfilter latar belakang penarik pinjaman online yang membuat semua orang, baik yang berpenghasilan maupun tidak bisa meminjam.
Hal itu membuat gagal bayar semakin banyak dan membebani pihak pemberi pinjaman. Masalah itu diperparah dengan penarikan pinjaman online untuk aktivitas judi online.
"Harusnya memang penyaluran pinjaman untuk hal produktif, tapi yang banyak konsumtif dan bahkan dipakai judi online," tegasnya.