Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah sedang menyusun Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur program pensiun tambahan bersifat wajib. Ketentuan ini menjadi amanat dalam Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Direktur Eksekutif Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), Syarif Yunus mengatakan UU P2SK itu mengamatkan harmonisasi seluruh program pensiun yang ada di Indonesia. Yakni program pensiun wajib di program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan, dengan program pensiun sukarela baik yang ada di Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaha Keuangan (DPLK).
Harmonisasi ini dipandang oleh pemerintah perlu. Alasannya replacement ratio atau tingkat pengembalian pensiun di Indonesia menurut perhitungan Syarif masih di bawah 10% dari penghasilan terakhir. Sedangkan, Organisasi Ketenagakerjaan Internasional/International Labour Organization (ILO) merekomendasikan rasio pengembalian pensiun sebesar 40% untuk menjamin kehidupan layak para pensiunan.
Syarif menghitung, untuk mengejar angka 40% tersebut diperlukan kontribusi iuran per bulan mencapai 15%. Sedangkan, dari iuran JHT dan JP saat ini besarnya masih 8,7%. Dengan begitu, iuran perlu ditingkatkan sebesar 6,3%.
"Di dalam diskusi yang beredar program pensiun tambahan wajib ini, ini sifatnya adalah dari yang wajib [total iuran] sekarang 8,7% itu di-plan [direncanakan] nanti jadi 15%, di-plan itu artinya tidak serta-merta tetapi dia akan berlangsung sampai, kalau dugaan saya sampai 2040-an," kata Syarif kepada Bisnis, Jumat (13/9/2024).
Caranya, adalah dengan menaikkan iuran 0,3% per tahun. Syarif menilai komponen yang ideal untuk dikerek iurannya adalah dari iuran program JP. Dengan begitu, iuran 15% tersebut didapatkan dari komponen JHT 6% dan iuran JP 9%. Saat ini komponen iuran JP sebesar 3%, maka untuk mencapai 9% Syarif memperkirakan perlu waktu 7 tahun dengan kenaikan bertahap.
Baca Juga
Selanjutnya, untuk menjaga industri dana pensiun tetap sehat, pemerintah melibatkan dana pensiun di luar BPJS. Dia menjelaskan, dalam pembahasan program pensiun wajib saat ini, sedang dipertimbangkan adanya batas upah pekerja.
Syarif memberi contoh, bila batasan upah ditetapkan Rp10 juta per bulan, maka pekerja dengan upah di bawah Rp10 juta iuran dana pensiunnya akan masuk dan dikelola BPJS. Sementara, bila seorang pekerja memiliki upah Rp40 juta, komponen iuran dari Rp10 juta itu akan dikelola BPJS, sementara komponen iuran dari Rp30 juta akan masuk dan dikelola DPLK dan DPPK.
"Jadi BPJS pasti akan bertambah dia punya aset kelolaan, dana pensiun yang dalam definisi program sukarela hari ini baik DPLK maupun DPPK, utamanya DPLK akan bertambah juga," jelas Syarif.
Pada saat yang sama, OJK akan menyiapkan sistem data pensiun nasional. Syarif menjelaskan sistem ini akan mencatat bagaimana pembagian iuran pensiun peserta antara yang masuk dan dikelola BPJS atau DPPK dan DPLK. Acuannya, presentase iuran yang diambil dari upah tersebut harus sama.
"Kenaikannya bertahap [hingga] 15%, itu dihitung oleh para orang yang bisa menghitung seperti aktuari kan. Jadi itu dasarnya program pensiun tambahan bersifat wajib," jelasnya.
Syarif mengatakan pembahasan PP tersebut dibahas di Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dengan melibatkan berbagai elemen seperti Kementerian Ketenagakerjaan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kamar Dagang dan Industri (Kadin), hingga Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).