Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mengungkap sejumlah regulasi yang masih dibutuhkan supaya inklusi asuransi dapat terakselerasi.
Berdasarkan data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2022, tingkat inklusi asuransi mencapai sekitar 26,8%.
Meskipun ada peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, angka ini masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan tingkat inklusi keuangan secara keseluruhan yang sudah mencapai lebih dari 80% pada tahun yang sama. Hal tersebut menunjukkan masih ada gap yang cukup besar antara akses masyarakat terhadap layanan keuangan secara umum dan layanan asuransi khususnya.
Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengatakan untuk mendorong pertumbuhan industri asuransi jiwa saat ini setidaknya ada empat hal. Pertama yang paling dibutuhkan saat ini adalah pembentukan lembaga penjamin polis (LPP). Hal tersebut sejalan dengan amanat Undang-undang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang menetapkan prioritas pembentukan LPP ini.
“Kami berharap dengan adanya LPP ini akan semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi jiwa sebagaimana masyarakat merasa aman saat bertransaksi di perbankan,” kata Togar kepada Bisnis pada Jumat (15/11/2024).
Togar mangatakan pihaknya menyadari bahwa pembentukan LPP ini memerlukan banyak persiapan, untuk itu AAJI juga senantiasa terbuka apabila diperlukan untuk mempercepat pembentukan LPP ini.
Baca Juga
Kedua, lanjut Togar, terkait dengan klaim kesehatan yang terus meningkat juga perlu menjadi perhatian. Dia mengatakan industri sangat berharap OJK bisa semakin memperkuat koordinasinya dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) guna memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia, khususnya dalam rangka menekan inflasi medis dan praktik over treatment guna menciptakan industri kesehatan yang lebih baik.
“Hal ini tidak hanya dilakukan untuk kepentingan industri asuransi jiwa tetapi juga guna melindungi masyarakat yang berhak atas perlindungan dan pelayanan kesehatan yang baik,” kata Togar.
Berdasarkan data AAJI, rasio klaim kesehatan industri asuransi jiwa mencapai sebanyak 105,7% pada semester I/2024. Hal tersebut menunjukan klaim yang dibayarkan oleh industri asuransi jiwa lebih banyak apabila dibandingkan dengan premi yang diterima.
Sepanjang semester I/2024, klaim kesehatanindustri asuransi jiwa mencapai sebanyak Rp11,83 triliun yang mana naik 26% secara tahunan (year on year/YoY) dari Rp9,39 triliun. Sementara itu premi kesehatan yang diterima mencapai Rp11,19 triliun, naik 23,64% YoY.
Ketiga, Togar mengatakan AAJI juga mendorong terbentuknya sistem database pemegang polis sebagaimana bank memiliki database nasabah. Menurutnya, ini sangat penting dimiliki oleh industri asuransi karena diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengidentifikasi fraud peserta polis, mendorong pembangunan sistem perusahaan yang lebih handal, business segmentation, dan memperbanyak penelitian di kalangan usaha dan akademisi.
“Terakhir dalam rangka memperkuat inovasi digitalisasi, AAJI berharap adanya kebijakan terkait program insurtech seperti adanya peninjauan atas regulasi penggunaan tanda tangan basah dan juga penggunaan e-materai,” tandas Togar.