Bisnis.com, JAKARTA – Perbankan menerapkan strategi berbeda dalam optimalisasi penyaluran kredit melalui perusahaan teknologi finansial (fintech) P2P lending alias pinjaman online (pinjol).
Faktor preferensi bisnis, kesesuaian dengan selera risiko, hingga segmentasi pasar menjadi poin yang dipertimbangkan dalam menjalin kerja sama dengan perusahaan pinjol.
Bank digital PT Bank Amar Indonesia Tbk. (AMAR) menyatakan bahwa saat ini perseroan tak lagi menjalin kerja sama dengan perusahaan pinjol ataupun perusahaan keuangan lain untuk menyalurkan kredit channeling. David Wirawan, SVP Finance Amar Bank mengungkapkan strategi channeling menyebabkan adanya overlapping pembiayaan pada satu nasabah.
“Dalam artian, seorang nasabah banyak juga yang apply di Amar Bank, ada juga yang apply di bank digital atau fintech lainnya. Jadi memang kami melihat bahwa kerja sama ini overlapping-nya terlalu banyak,” katanya saat ditemui di Jakarta, Rabu (28/5/2025).
Faktor berikutnya berkaitan dengan preferensi bisnis perseroan. David menyebut bahwa saat ini semakin banyak perusahaan P2P lending yang ingin berperan lebih dengan mengambil alih kendali atas kredit, selagi bank hanya berperan sebagai funder.
Menurutnya, hal ini tidak sesuai dengan risk appetite atau selera risiko yang dimiliki Amar Bank. Dalam menjalankan skema channeling, pihaknya berharap tetap bisa menakar risiko dan menentukan pihak yang hendak diberikan pembiayaan.
Baca Juga
“Jadi kita prefer jika ada pihak-pihak yang hendak bekerja sama, kita sangat terbuka untuk bisa bertemu di tengah, bahwa Amar Bank juga terlibat dalam penentuan risikonya,” tutur David.
Di sisi lain, perusahaan bank global Standard Chartered Bank Indonesia justru berencana untuk terus meningkatkan kemitraan dengan fintech P2P lending demi mengembangkan produk perbankan ritel.
Donny Donosepoetro, selaku CEO Standard Chartered Bank Indonesia, menyebut bahwa bank yang berkantor pusat di London ini memiliki delapan mitra perusahaan fintech P2P lending yang menghasilkan outstanding pembiayaan sekitar Rp3,3 triliun per kuartal I/2025.
"Ini profitable, bukan CSR. Ini hubungan komersial, bukan CSR. Jadi ini memang mekanisme yang bagus, menjembatani fungsi intermediasi bank-bank internasional untuk menyasar sektor inklusif," kata Donny saat berbincang dengan Bisnis di sela acara Asia Grassroots Forum 2025 di Nusa Dua, Bali, Kamis (22/5/2025).
Dia lantas memaparkan bahwa bank global seperti Standard Chartered memiliki tantangan dalam menyasar segmen perekonomian mikro dan ultramikro. Lebih lagi, pihaknya harus berkompetisi dengan bank domestik yang memiliki jangkauan jaringan hingga pelosok Tanah Air.
Itu sebabnya, Standard Chartered berupaya untuk memperluas kerja sama melalui skema tersebut. Donny pun membidik pembiayaan melalui fintech P2P lending dapat mencapai kisaran Rp6,6 triliun pada akhir tahun ini.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae menyebut bahwa hingga posisi Februari 2025, total pemberian pinjaman terhadap perusahaan pembiayaan mencapai Rp80,07 triliun, yang mana lebih dari setengahnya berasal dari perbankan.
“Berdasarkan kategorinya, pemberi pinjaman yang berasal dari perbankan mencapai Rp49,40 triliun atau sebesar 61,69% terhadap total pemberian pinjaman,” katanya dalam jawaban tertulis hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK, dikutip pada Jumat (30/5/2025).
Dia memaparkan, kerja sama bank dan fintech merupakan salah satu peluang bisnis yang banyak menyasar kalangan UMKM, sehingga dinilai dapat meningkatkan akses dan layanan keuangan bagi masyarakat.
Menurut Dian, bank juga terus melakukan peningkatan pengelolaan risiko dan tata kelola dalam pemberian kredit, baik yang disalurkan langsung maupun yang disalurkan melalui perusahaan pembiayaan. Hal tersebut mencakup evaluasi kinerja dan penilaian kelayakan secara berkala, dengan tujuan untuk menjaga pertumbuhan yang berkesinambungan.