Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) umum mendukung langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperbaharui regulasi terkait penyelenggaraan teknologi finansial peer-to-peer lending (fintech lending).
Juru Bicara AFPI Andi Taufan menjelaskan bahwa pihaknya telah memberikan sejumlah masukan secara resmi kepada OJK atas Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (RPOJK LPBBTI) tersebut.
"RPOJK fintech P2P lending ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas industri," ujar Andi dalam diskusi virtual Outlook Industri P2P Lending bersama media, Senin (7/12/2020).
Meski begitu, dia menambahkan, masih ada beberapa poin dalam RPOJK tersebut yang dinilai masih perlu dikoordinasikan dengan OJK untuk menjaga pertumbuhan industri fintech P2P lending dan inklusi keuangan yang diupayakan oleh penyelenggara.
Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengungkapkan lebih lanjut bahwa terdapat empat poin utama yang menjadi saran AFPI.
Di antaranya, AFPI berharap regulasi baru ini tidak menghambat pertumbuhan transaksi dan jumlah pemberi dana (lender) dari para platform P2P lending. Selain itu, jangan sampai regulasi baru justru mempersulit investasi yang masuk ke dalam industri.
Baca Juga
Ketiga, AFPI menyarankan birokrasi yang lebih ramping dari pendapat OJK dalam rencana aturan barunya. Harapannya, kelincahan platform yang masih dalam periode mulai bangkit dari dampak pandemi, terus terjaga.
Terakhir, AFPI menilai perlu adanya kelonggaran terhadap ketentuan batas waktu hingga periode tertentu di beberapa aspek regulasi, untuk memberikan nafas pemain baru bisa berkembang terlebih dahulu.
"Karena tidak semua pemain memiliki tahapan yang sama. Ada yang sudah mapan, ada yang baru mulai, ada yang masih berkembang. Jadi ini terutama buat anggota kita yang sebenarnya bisa memenuhi aturan, tapi butuh waktu sedikit lebih lama," ungkapnya.
Sekadar informasi, dalam beleid RPOJK baru terkait fintech lending ini, setidaknya ada tujuh poin perubahan yang OJK harap membuat industri semakin sehat.
Pertama, penghapusan status terdaftar, nantinya hanya fintech berizin yang secara resmi boleh beroperasi. Kedua, peningkatan syarat modal disetor minimum untuk para penyelenggara, paling sedikit sebesar Rp15 miliar pada saat perizinan.
Ketiga, yakni ketentuan persyaratan ekuitas, di mana penyelenggara wajib memiliki ekuitas setiap saat 0,5 persen dari total pendanaan yang belum dilunasi (outstanding) atau sekurang-kurangnya Rp10 miliar.
Keempat, yaitu adanya fit & proper test bagi pengurus platform, atau komisaris dan direksi, serta pemegang saham pengendali oleh OJK. Hal ini berhubungan dengan komitmen mereka dalam pengelolaan bisnis.
Ditambah aturan baru kelima, yaitu penguatan ketentuan agar pemegang saham existing lebih berkomitmen dalam mendukung penyelenggaraan fintech P2P lending.
Keenam, adanya kewajiban pinjaman ke sektor produktif dan luar Pulau Jawa. Serta, ketujuh, OJK menambahkan ketentuan penyelenggaraan prinsip syariah yang tadinya belum diatur secara spesifik.