Bisnis.com, JAKARTA - Industri asuransi percaya bahwa optimalisasi data lewat pemanfaatan insurtech bakal membuat produk asuransi makin kaya dan relevan, yang akhirnya mampu meningkatkan penetrasi asuransi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe menjelaskan, penetrasi produk asuransi lewat jaringan digital memang belum terlalu signifikan, sehingga belum mampu mempengaruhi industri.
Namun demikian, pandemi Covid-19 telah menjadi pemicu masyarakat lebih dekat dengan dunia digital, sehingga optimalisasi insurtech pun semakin relevan dan dibutuhkan pelaku usaha.
"Perilaku konsumen nanti lebih bisa diketahui datanya lebih baik, sehingga produk asuransi ini akan menjadi lebih market driven, bukan lagi mengandalkan produk generik. Harapannya, dengan seperti itu, asuransi itu akan jadi kebutuhan, bukan cuma pelengkap," jelasnya dalam diskusi virtual, Rabu (14/4/2021).
Dody percaya insurtech akan berperan besar dalam penetrasi asuransi, terutama dalam peningkatan awareness masyarakat muda, kendati berdasarkan penelitian AAUI, Internet & Application baru sekitar 0,07 persen dari total distribution channel selama 2020.
Kebanyakan insurtech yang telah aktif berperan, didominasi marketplace atau aggregator, intermediary seperti broker atau agent, juga perusahaan asuransi yang telah menggelar layanan digital.
Pangsa distribution channel terbanyak, masih didominasi direct marketing (30 persen) dan broker (23 persen). Sisanya, other 14 persen, agent 11 persen, bancassurance 9 persen, leasing 8 persen, affinity 1 persen, dan telemarketing 0,14 persen.
"Ini karena baru 2020 kami survei, sebenarnya di direct marketing, maupun di broker, bahkan juga di dalam others, saya yakin juga ada peran dari digital. Tahun ini kita akan coba spesifik lagi untuk melihat bagaimana peran dari Internet & Application," tambahnya.
Menurut Dody, tantangan terbesar yang akan dihadapi insurtech dalam waktu dekat, yaitu regulasi yang relatif belum fix, terkait pemasaran produk, pricing, penerbitan polis, proses klaim, dan keamanan data. Tantangan lain, yaitu kondisi geografis berkaitan kesenjangan infrastruktur digital dan perbedaan awareness tiap daerah, serta edukasi untuk masyarakat selaku nasabah, maupun SDM dalam industri.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu sepakat bahwa insurtech mampu meningkatkan penetrasi asuransi di Indonesia, terutama setelah periode pandemi Covid-19. "Karena sejauh ini produk asuransi jiwa itu tidak dibeli, tapi masih dijual, harus ditawarkan, sehingga peran agen itu besar. Maka, adanya Covid-19 ini menjadi halangan yang sangat besar. Tapi di sisi lain, ini menyadarkan kita kalau pemanfaatan platform digital itu keniscayaan," jelasnya.
Menurutnya, membuat produk yang tepat akan menjadi salah satu kunci untuk menjangkau masyarakat dengan mind-set digital, yang semakin spesifik dalam memenuhi kebutuhannya, sekaligus ingin mempunyai banyak pilihan.
"Sejauh ini dari ketentuan, yang boleh dipasarkan secara digital itu produk yang sederhana. Padahal, era digital ini nasabah itu semakin spesifik sesuai kebutuhannya, dan itulah yang harus bisa kita sasar," tambah Togar.
Terkini, keaktifan industri asuransi jiwa dalam memanfaatkan platform digital mulai tampak dalam pemasaran produk asuransi yang dikaitkan investasi (PAYDI) atau unit-linked sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain itu, banyak perusahaan asuransi jiwa yang melakukan digitalisasi layanan atau bekerja sama dengan platform digital dalam rangka mempermudah klaim. Beberapa perusahaan juga melakukan peningkatan orientasi kesehatan nasabah secara online lewat konsultasi.
Adapun, AAJI sendiri telah menerapkan upaya meningkatkan kualitas SDM yang adaptif lewat ujian lisensi tenaga pemasar dengan sistem aplikasi mobile.
Namun demikian, Togar menjelaskan tantangan utama dari sisi industri, terdapat pada kekuatan modal, kapasitas SDM, dan infrastruktur teknologi yang tepat dan aman. "Harus dipahami, tidak semua perusahaan asuransi jiwa mampu secara cepat mengakomodasi perubahan ini, karena transformasi digital ini membutuhkan biaya," jelasnya.
Kepala Departemen Pengawasan IKNB 1B Otoritas Jasa Keuangan Heru Juwanto menjelaskan bahwa aset industri asuransi selama 2020 masih Rp1409,75 triliun atau masih tumbuh 6,3 persen (year-on-year/yoy). Premi yang mampu dihimpun industri mencapai Rp499,23 triliun, sementara pangsa premi yang disumbangkan oleh platform insurtech selama tahun 2020 mencapai Rp811,71 miliar atau setara 1,06 persen dari total.
"Kami percaya kontribusi insurtech akan semakin besar seiring perkembangan digital, sehingga diharapkan bisa menggejot penetrasi asuransi dengan memasarkan produk asuransi yang sebelumnya belum pernah dipasarkan asuransi konvesional," jelasnya.