Bisnis.com, JAKARTA – Sederet bank konvensional mulai melebarkan sayapnya dengan melakukan transformasi ke layanan digital dengan memanfaatkan teknologi terkini. Belakangan ini, satu per satu taipan Tanah Air juga mulai masuk ke ranah bisnis perbankan digital.
Salah satunya adalah pengusaha nasional Chairul Tanjung, yang memiliki saham mayoritas di PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) melalui PT Mega Corpora.
Allo bank bakal melakukan aksi korporasi, di mana salah satu investor strategis yang akan menyerap rights issue adalah PT Indolife Investama Perkasa, milik taipan Anthoni Salim.
Jika mengacu pada ketentuan yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai ketentuan baru pendirian serta bisnis bank digital, yakni salah satunya mengatur tentang modal inti minimum pendirian bank digital senilai Rp10 triliun.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Bank Umum yang dirilis pertengahan Agustus 2021.
“Pergeseran dari konsep bank tradisional ke bank masa depan mendorong bank, antara lain untuk menyesuaikan strategi bisnis dan melakukan penataan ulang jaringan distribusi,” demikian yang ditulis dalam POJK Nomor 12 Tahun 2021 tentang Bank Umum, seperti dikutip pada Rabu (5/1/2022).
Baca Juga
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPP), Amin Nurdin mengatakan model bisnis di pembiayaan antara bank konvensional dengan bank digital kurang lebih sama. Artinya, keuntungan bank digital paling besar didapatkan dari pendapatan bunga.
Namun, karena saat ini masih baru, yakni baru memasuki tahap perkenalan, Amin memprediksikan bahwa kemungkinan memberikan keuntungan dari bisnis bank digital masih perlu waktu.
“Setidaknya dalam 3-5 tahun ke depan. Hanya saja, pertumbuhan akan lebih cepat dan masif. Karena dalam hal proses bisa lebih cepat dan menjangkau masyarakat dan nasabah yang lebih luas,” kata Amin saat dihubungi Bisnis, Rabu (5/1/2022).
Menurutnya, kemungkinan untuk membentuk ekosistem dengan berbagai platform digital juga menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi bisnis bank digital.
Amin mengungkapkan, bisnis bank digital juga bisa mendapatkan pendapatan dari berbagai hal, salah satunya melalui pendapatan bunga.
“Selain pendapatan bunga, bisa juga melalui jasa-jasa dan fees lain jika transaksi bisa dilakukan oleh customer dalam basis ecosystem yang lebih luas,” terangnya.
Amin melihat, beberapa bank konvensional yang sudah menerapkan digitalisasi, artinya mereka sudah selangkah di depan dalam menghasilkan fee based income (FBI) dari digitalisasi.
Sementara itu, dari hasil paparan publik yang dirilis PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) ke Bursa Efek Indonesia (BEI), disebutkan bahwa direksi menyampaikan berdasarkan penelitian dan pengalaman terhadap bisnis bank digital, terutama yang sudah ada di luar negeri, diperlukan waktu 3 sampai 5 tahun untuk masuk ke fase profitable.
Sesuai visi dan misi, perseroan secara berkesinambungan melalukan transformasi dari bank pensiunan menjadi bank digital dan juga re-branding dari Bank Yudha Bhakti menjadi Bank Neo Commerce.
"Proses transformasi yang telah dilakukan mulai 2020 memerlukan waktu untuk dapat membukukan laba," jelas manajemen BBYB.