Bisnis.com, JAKARTA -- Suku bunga acuan yang diprediksi akan terus naik pada tahun depan bakal menjadi angin segar bagi industri peer to peer (P2P) lending.
Hal itu dikemukakan oleh peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan kenaikan suku bunga acuan akan menciptakan perpindahan nasabah perbankan yang mengandalkan bunga deposito menjadi lender di platform P2P lending.
“Suku bunga yang naik justru berkah bagi fintech. Katakanlah deposito hanya menghasilkan 5%--6%, tetapi kalau masuk ke P2P lending sebagai investor bisa dapat bunga 15%--20%, maka return-nya akan lebih menggiurkan,” tuturnya saat dihubungi Bisnis.com, Kamis (27/12/2018).
Berdasarkan data OJK, jumlah rekening lender P2P lending dari dalam dan luar negeri mencapai 182.895 per Oktober 2018, tumbuh 81,19% dibandingkan dengan realisasi sepanjang 2017 yang mencapai 100.940 akun.
Menurutnya, rata-rata return atau pengembalian yang dihasilkan oleh P2P lending saat ini mencapai 10%--15% per tahun. Adapun bunga pinjaman mencapai 15%--20%. Sementara BI 7-day Repo Rate tercatat di posisi 6%, naik 1,75% sejak awal 2018. Suku bunga deposit facility sebesar 5,25%, dan suku bunga lending facility sebesar 6,75%.
Berbeda dengan bisnis perbankan, katanya, suku bunga tidak lantas menaikkan cost of fund sehingga menekan likuiditas. Sementara bank akan lebih berhati-hati memberikan kredit, fintech menawarkan aplikasi pinjaman yang jauh lebih cepat dan mudah.
Dengan begitu, tak hanya minat menjadi lender, Bhima memprediksi kenaikan suku bunga juga akan memengaruhi minat debitur.
“Selama ini P2P lending terutama cash loan yang menyasar tenor pendek hanya menggunakan suku bunga sebagai benchmark dan penentuan faktor risiko. Adanya kenaikan suku bunga tidak berpengaruh signifikan terhadap bisnis fintech yang rata-rata bunganya di atas bank secara umum,” katanya.