Bisnis.com, JAKARTA - Pergerakan tingkat kredit bermasalah atau non-performing financing dinilai sulit untuk diperkirakan, meskipun terus terjadi kenaikan seiring dampak penyebaran virus corona. Meskipun begitu, pelaku industri akan terus membantu debitur yang beritikad baik melalui restrukturisasi.
OJK mencatat bahwa rasio NPF industri pembiayaan mencapai 4,11 persen per Mei 2020. Angka itu menjadi catatan NPF tertinggi selama lima tahun terakhir, dengan nilai tertinggi terjadi pada Mei 2017 sebesar 3,45 persen.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menjelaskan bahwa selama masa pandemi Covid-19 ini memang terjadi kenaikan non performing financing (NPF). Tertekannya perekonomian masyarakat turut memengaruhi tingkat koleksi industri pembiayaan.
Meskipun begitu, Suwandi menjelaskan bahwa banyak faktor yang memengaruhi peningkatan NPF tersebut. Pertama dapat berasal dari daya beli masyarakat yang menurun sehingga kemampuan membayar cicilan pun terganggu.
Selain itu, penurunan volume penjualan kendaraan pun sangat memengaruhi tingkat kredit macet dari industri pembiayaan. NPF merupakan hasil perhitungan total kredit di atas 90 hari yang dibagi dengan total kredit, sehingga menurut Suwandi penurunan penjualan kendaraan memengaruhi total kredit itu.
"Kalau jumlah kredit turun berarti penyebutnya [dari perhitungan NPF] turun. Namun, nanti apakah NPF naik karena kualitas pembiayaannya atau penyebutnya itu berkurang, itu sulit dilihat," ujar Suwandi kepada Bisnis, Senin (3/7/2020).
Baca Juga
Dia menjelaskan bahwa meskipun terjadi kenaikan NPF secara konstan selama masa pandemi, industri pembiayaan akan membantu para debitur yang memiliki itikad baik untuk melanjutkan kreditnya melalui program restrukturisasi.
Restrukturisasi akan diberikan bagi mereka yang memiliki rekam jejak baik dalam pembayaran cicilannya dan terbukti terdampak oleh pandemi Covid-19. Debitur yang dinilai berhak menerima restrukturisasi akan mendapatkan keringanan dengan batas waktu sesuai kesepakatannya dengan perusahaan pembiayaan.
"Sekarang kan yang restrukturisasi dihitung sebagai [kredit] lancar, kalau nanti [setelah masa restrukturisasi habis] tidak tahu. Yang jelas tujuan [restrukturisasi] ini untuk sama-sama menjaga debitur yang mempunyai itikad baik dan status kreditnya lancar," ujar Suwandi.