Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan bahwa saat ini regulator bersama dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tengah menggodok usulan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait penjaminan polis. Aturan ini sebagai salah satu acuan mengimplementasikan program penjaminan polis (PPP) oleh Lembaga Penjamin Polis (LPP) untuk 2028.
Keberadaan RPP tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang telah disahkan pada 12 Januari 2023.
Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Iwan Pasila mengatakan bahwa saat ini pemerintah, OJK, dan LPS terus berkolaborasi untuk menyiapkan RPP tentang penjaminan polis yang nantinya harus sudah berlaku mulai Januari 2028.
Iwan menyampaikan bahwa estimasi RPP menjadi PP tersebut dibutuhkan waktu yang cepat untuk mengimplementasikan LPP.
“Saat ini sedang dibahas adalah produk apa saja yang akan dijamin, apakah ada batas maksimal, dan yang akan dijamin apa saja,” kata Iwan kepada Bisnis, Kamis (29/2/2024).
Iwan menambahkan bahwa pembahasan lainnya adalah terkait pendanaan iuran peserta program penjaminan polis (PPP). “Dan bagaimana transisi memasuki Januari 2028. Tim terus bekerja untuk memastikan time line dapat dipenuhi,” imbuhnya.
Baca Juga
Terpisah, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa menuturkan bahwa pihaknya telah merekrut direktur eksekutif untuk asuransi, termasuk anggota tim di dalam LPP. Purbaya memastikan bahwa hingga akhir tahun ini segala rangka peraturan LPP akan siap.
“Sekarang kami masih diskusi dengan industri dan otoritas lain, OJK dan [Kementerian] Keuangan juga untuk menentukan bentuk yang paling pas seperti apa untuk program penjaminan polis. Tapi ini jalan terus dan saya pikir lebih cepat dari yang kita duga progresnya,” ungkap Purbaya saat ditemui di sela-sela acara Economic Outlook 2024 Year of Optimism CNBC Indonesia di Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Purbaya menuturkan bahwa saat ini pihaknya tengah membahas aturan terkait jumlah polis yang akan dijamin LPP, apakah akan disamakan dengan simpanan yang dijamin oleh LPS.
“Karena ada berbagai pandangan di sana. Yang lain juga yang sebelumnya sudah diputuskan dan mungkin akan diputuskan lagi perusahaan asuransi yang seperti apa yang boleh masuk, definisi sehat akan seperti apa,” ungkapnya.
Namun, Purbaya menuturkan bahwa LPS akan melakukan pengecekan acak (random check) kesehatan terhadap perusahaan asuransi, yakni setahun sebelum mengimplementasikan LPP pada 2028.
“Kalau semuanya bagus, kita terima, tapi kalau dari 10 yang kita tes tapi sembilan jelek maka akan kita periksa ulang,” ungkapnya.
Purbaya menuturkan bahwa salah satu tingkat kesehatan perusahaan asuransi akan diukur dari rasio solvabilitas atau risk-based capital (RBC). Namun, Purbaya mengungkapkan bahwa rasio RBC masih dalam tahap diskusi, di mana arah pembicaraan RBC berada di kisaran 120% hingga di atas 180%.
“Tentunya nanti walaupun RBC-nya bagus di tahun 2027 itu kan dikasih list-nya ke kita, selama itu kita akan tes secara random benar-benar bagus atau nggak,” jelasnya.
Purbaya menjelaskan bahwa hal itu dilakukan untuk memastikan tidak banyak perusahaan asuransi yang tumbang di tahun pertama program penjaminan polis berjalan.
“Kalau begitu kan kredibilitas LPP-nya menjadi hilang. Dan, uangnya belum cukup karena iuran belum mulai dan baru sedikit,” tambahnya.
Nantinya, produk unit-linked maupun produk investasi di industri perasuransian tidak dijamin oleh LPP, melainkan hanya menjamin proteksi asuransi. Namun, jenis proteksi yang dimaksud pun masih dalam tahap diskusi.
“Kalau hitungan ekonomi itu [unit-linked] risikonya nggak jelas, seperti kita menjamin investasi orang, enak sekali kalau investasi dijamin, nggak ada rugi, untung terus,” ungkapnya.